Rabu, 06 Maret 2013

- POLITIK PINTU TERBUKA (1870-1900) - POLITIK PINTU TERBUKA (OPEN DOOR POLICY) TAHUN 1850 – 1870

- POLITIK PINTU TERBUKA (1870-1900)

Dalam sejarah kolonial, pihak swasta mendapat kesempatan membuka kegiatannya di Indonesia. Hal ini diatur dalam undang-undang Agraria kolonial/ Agrarische Wet (1870-1960).
Yang berisi
Pasal 1 : gubernur jenderal tidak boleh menjual tanah
Pasal 2 : gubernur jenderal tidak boleh menyewakan tanah
Pasal 3 : hak atas tanah paling lama 75 tahun

Tiga kutipan pasal itu dapat menggambarkan jiwa dan sasaran yang ingin dicapai adalah melayani pemilik modal Belanda. Dalam hal ini partai liberal sebagai jembatan yang dengan gigih memperjuangkan kehendak kaum kapitalis. Perjuangan yang lama dan melelahkan diparlemen akhirnya membuahkan hasil dan landasan hukum untuk menyalurkan modal.Namun dengan dikeluarkannya UUPA (UU pokok Agraria), UU No.5 Tahun 1960, undang-undang agraria kolonial tidak berlaku lagi.

- POLITIK PINTU TERBUKA (OPEN DOOR POLICY) TAHUN 1850 – 1870

Paham kebebasan liberalisme mulai tumbuh subur di Eropa dan dianggap sebagai paham yang paling sesuai untuk diterapkan oleh negara-negara yang menjunjung tinggi kebebasan. Liberalisme muncul sebagai sikap pendobrakan terhadap kekuasaan absolut dan didasarkan atas teori rasionalistis yang umum dikenal sebagai Social Contract. Menurut Siswanto (2004: 262) bahwa salah satu asas dari gagasan kontrak sosial ini adalah bahwa dunia dikuasai oleh hukum yang timbul dari alam (nature), yang mengandung prisip-prinsip keadilan universal; artinya berlaku untuk semua waktu serta semua manusia (Natural Law). Teori-teori kontrak sosial merupakan usaha mendobrak dasar dari pemerintahan absolut, dan berusaha menetapkan hak-hak politik rakyat. Bagi John Locke, hak-hak politik mencakup hak atas hidup, hak atas kebebasan dan hak untuk mempunyai milik (life, liberty and property).
Menurut Ramadhan (2006) bahwa gagasan ekonomi liberal didasarkan pada sebuah pandangan; setiap individu harus diberi akses seluas mungkin untuk melakukan kegiatan-kegiatan ekonominya, tanpa ada intervensi dan campur tangan dari negara. Atas dasar itu, campur tangan negara tidak diperlukan lagi.
Pada politik kolonial liberal di Indonesia tidak terlepas dari perubahan politik Belanda. Pada tahun 1850, golongan liberal di negeri Belanda mulai memperoleh kemenangan dalam pemerintahan. Kemenangan itu diperoleh secara mutlak pada tahun 1870, sehingga tanam paksa dapat dihapuskan. Mereka berpendapat bahwa kegiatan ekonomi di Indonesia harus ditangani oleh pihak swasta. Pemerintah hanya mengawasi saja, yaitu hanya sebagai polisi penjaga malam yang tidak boleh campur tangan dalam bidang ekonomi. Sistem ini akan menumbuhkan persaingan dalam rangka meningkatkan produksi perkebunan di Indonesia. Dengan demikina pendapatan negara juga akan bertambah.
Untuk mewujudkan sistem tersebut, pada tahun 1870 di Indonesia dilaksanakan politik kolonial liberal atau sering disebut “politik pintu terbuka” (open door policy). Sejak saat itu pemerintahan Hindia Belanda membuka Indonesia bagi para pengusaha swasta asing untuk menanamkan modalnya, khususnya di bidang perkebunan. Pelaksanaan sistem liberal ini ditandai dengan keluarnya Undang-Undang De Waal, yaitu Undang-undang Agraria dan Undang-Undang Gula. Undang-Undang Gula (Agrarische Wet) menjelaskan bahwa semua tanah di Indonesia adalah milik pemerintah kerajaan Belanda. Oleh karena itu, pihak swasta boleh menyewanya dalam jangka waktu antara 50 sampai 75 tahun di luar tanah-tanah yang digunakan oleh penduduk untuk bercocok tanam. Dalam Undang-Undang Gula (Suiker Wet) ditetapkan, bahwa tebu tidak tidak boleh diuangkut ke luar Indonesia tetapi harus diproses didalam negeri. Pabrik gula milik pemerintah akan dihapus secara bertahap dan diambil alih oleh pihak swasta. Pihak swasta juga diberi kesempatan yang luas untuk mendirikan pabrik gula baru (Swanto, dkk., 1997 :29).
Hal ini nampaknya juga masih tak lepas dari teori-teori mazhab klasik, antara lain terlihat pada a). Keberadaan pemerintah Hindia Belanda sebagai tuan tanah, pihak swasta yang mengelola perkebunan swasta sebagai golongan kapitalis, dan masyarakat pribumi sebagai buruh penggarap tanah. b). Prinsip keuntungan absolut : Bila di suatu tempat harga barang berada diatas ongkos tenaga kerja yang dibutuhkan, maka pengusaha memperoleh laba yang besar dan mendorong mengalirnya faktor produksi ke tempat tersebut. c). Laissez fairelaissez passer, perekonomian diserahkan pada pihak swasta, walau jelas, pemerintah Belanda masih memegang peran yang besar sebagai penjajah yang sesungguhnya.
Pengaruh Politik Liberal Bagi Indonesia
Terbukanya Indonesia bagi swasta asing berakibat munculnya perkebunan-perkebunan swasta asing di Indonesia seperti perkebunan teh dan kina di Jawa Barat, perkebunan tembakau di Deli, perkebunan tebu di Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan perkebunan karet di Serdang. Selain di bidang perkebunan, juga terjadi penanaman modal di bidang pertambangan batu bara di Umbilin. Menurut Swanto, dkk. (1997) pengaruh gerakan liberal terhadap Indonesia secara umum adalah : 1). Tanam paksa dihapus. 2). Modal swasta asing mulai ditanamkan di Indonesia. 3). Rakyat Indonesia mulai mengerti akan arti pentingnya uang. 4). Usaha kerajinan rakyat terdesak oleh barang impor. 5). Pemerintah Hindia Belanda membangun sarana dan prasarana. 6). Hindia Belanda menjadi penghasil barang perkebunan yang penting.
Pelaksanaan politik kolonial liberal ternyata tidak lebih baik dari pada tanam paksa. Justru pada masa ini penduduk diperas oleh dua pihak. Pertama oleh pihak swasta dan yang kedua oleh pihak pemerintah. Pemerintah Hindia Belanda memeras penduduk secara tidak langsung melelui pajak-pajak perkebunan dan pabrik yang harus dibayar oleh pihak swasta. Padahal, pihak swasta juga ingin mendapat keuntungan yang besar. Untuk itu, para buruh diibayar dengan gaji yang sangat rendah, tanpa jaminan kesehatan yang memadai, jatah makan yang kurang, dan tidak lagi mempunyai tanah karena sudah disewakan untuk membayar hutang.
Disamping itu, para pekerja perkebunan diikat dengan sistem kontrak, sehingga mereka tidak dapat melepaskan diri. Mereka harus mau menerima semua yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Mereka tidak berani melarikan diri walaupun menerima perlakuan yang tidak baik, karena mereka akan kena hukuman dari pengusaha jika tertangkap. Pihak pengusaha memang mempunyai peraturan yang disebut Poenale Sanctie (peraturan yang menetapkan pemberian sanksi hukuman bagi para buruh yang melarikan diri dan tertangkap kembali). Keadaan yang demikian ini menyebabkan tingkat kesejahteraan rakyat semakin merosot sehingga rakyat semakin menderita (Swanto, dkk., 1997 : 29-30).
Jadi, pada masa tanam paksa rakyat diperas oleh pemerintah Hindia Belanda, sedangkan pada masa politik pintu terbuka rakyat diperas baik pengusaha swasta maupun oleh pemerintah. Walaupun pemerintah melakukannya secara tidak langsung. Kekuatan liberal mendesak pemerintahan kolonial melindungi modal swasta dalam mendapatkan tanah, buruh, dan kesempatan menjalankan usaha atau perkebunan. Negara menjadi pelayan modal lewat dukungan infrastruktur dan birokrasi, dengan menelantarkan pelayanan masyarakat. Dengan demikian politik kolonial liberal yang semula menghendaki liberalisasi tanah jajahan lalu berkembang menjadi bagaimana mengatur tanah jajahan untuk memperoleh uang (Wiharyanto, 2006 :128).
Akibat Politik Pintu Terbuka Bagi Indonesia
Masuknya politik liberal yang disebabkan oleh gelombang liberalisme Eropa pada 1840-an, kekuatan liberal Belanda, didukung pemilik modal dan kelas menengah, meraih kekuasaan di negeri sendiri, lalu mengontrol perekonomian Hindia Belanda. Berkredo “kebebasan usaha, kebebasan kerja, dan pemilikan pribadi”, kekuatan liberal mendesak pemerintahan kolonial melindungi modal swasta dalam mendapatkan tanah, buruh, dan kesempatan menjalankan usaha atau perkebunan. Negara menjadi pelayan modal lewat dukungan infrastruktur dan birokrasi, dengan menelantarkan pelayanan masyarakat (Latif, 2007). Kaum liberal memandang Hindia Belanda sebagai ladang pihak swasta sehingga dapat menimbulkan akibat-akibat, diantaranya : 1). Timbulnya urbanisasi. Hal ini dapat terjadi karena rakyat yang sudah tidak mempunyai tanah, pergi ke kota untuk mencari kehidupan dengan bekerja pada pabrik-pabrik yang telah didirikan oleh pihak swasta maupun pemerintah. 2). Penduduk kota semakin bertambah padat. 3). Timbulnya kaum buruh. 4). Rakyat pedesaan mulai mengenal uang. 5). Barang kerajinan rakyat terdesak oleh barang impor. 6). Tanah perkebunan semakin luas (Swanto,dkk.,1997:30).
Bagi bangsa Indonesia, liberalisme jelas merupakan ideologi yang dapat mengancam kelangsungan kebangsaan Indonesia karena secara material, di dalamnya terkandung nilai-nilai sosial-politik yang tidak sesuai dan bertentangan dengan sikap politik bangsa Indonesia dalam mewujudkan cita-cita, berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Gerakan globalisasi dengan ideologi liberalismenya secara material adalah upaya sistematis taktis dari negara Barat yang diarahkan untuk meruntuhkan kesepakatan politik bangsa Indonesia dalam memandang hakikat nation state. Menurut Soedjendro (2006) nilai-nilai sosial-politik ideologi liberalisme yang bersifat ekstrem dan bertentangan dengan ideologi Pancasila tersebut adalah: Pertama, ideologi liberalisme menawarkan prinsip kebebasan individual secara mutlak, tidak berpijak pada nilai-nilai moral, kesusilaan, dan keadilan sosial. Kedua, ideologi liberalisme menghendaki adanya sistem pengelolaan perekonomian secara bebas dan tidak menghendaki adanya keterlibatan negara (pemerintah) dalam menciptakan kesejahteraan sosial-ekonomi rakyat. Ketiga, ideologi liberalisme menganut sistem nilai demokrasi yang menggunakan ukuran pembenaran berdasarkan kebutuhan diktator mayoritas, sehingga untuk mencapainya cukup dengan ukuran 50% ditambah 1 selesai. Namun demokrasi yang dicita-citakan ideologi Pancasila tidak bisa atau tidak cukup dengan hanya 50% ditambah 1 tetapi harus melalui musyawarah untuk merumuskan sebuah keputusan dalam perspektif kepentingan bersama yang berkeadilan.
Walaupun zaman Hindia Belanda diawali dengan harapan – harapan besar mengenai keunggulan sistem liberal dalam meningkatkan perkembangan ekonomi kolonial sehingga menguntungkan kesejahteraan rakyat Belanda maupun rakyat Indonesia, namun pada akhir abad ke-19 sudah nyata bahwa rakyat Indonesia sendiri tidak mengalami tingkat kemakmuran yang lebih baik daripada masa yang lampau (Poesponegoro dan Notosusanto, 1993 : 124).


DAFTAR PUSTAKA :

  • Latif, Yudi. 2007. Dari Liberalisme ke Politik Etis. Dalam http://www.kompas.com. Edisi Selasa, 24 Juli 2007 (Diunduh 18/12/08)
  • Poesponegoro, Djoned Marwati, dan Notosusanto, Nugroho. 1993. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta : Balai Pustaka
  • Ramadhan, Syamsudin. 2006. Liberalisme. Dalam http://www.syariahpublications.com (Diunduh 16/12/08)
  • Siswanto, Dwi. 2004. Konvergensi Antara Liberalisme Dan Kolektivisme Sebagai Dasar Etika Politik di Indonesia. Dalam Jurnal Filsafat Jilid 38 Nomor 3. Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada
  • Soedjendro, J Kartini. 2006. Kebangsaan Dalam Arus Liberalisme. Dalam http://www.suaramerdeka.com. Edisi Selasa 18 Juli 2006 hal. 11 (Diunduh 18/12/08)
  • Suwanto, dkk. 1997. Sejarah Nasional dan Umum. Semarang : Aneka Ilmu
  • Wiharyanto, A.K. 2006. Sejarah Indonesia Madya abad XVI-XIX. Yogyakarta: Universitas Sanata DharmaBadrika I Wayan.1993.Sejarah Nasional dan Dunia untuk SMA kelas 2.Jakarta:Cempaka Putih

 



0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India