Minggu, 04 Agustus 2013

Asal Usul Sejarah Mudik

Dari mana kata "mudik" bermula. Bagaimana asal-
usulnya? Sesekali, menarik juga memahami sebuah
kata yang akhirnya menjadi budaya di negeri ini. Boleh
jadi, satu-satunya tradisi unik yang dilakukan hampir
seluruh orang dalam satu negara, sekaligus sebagai
fenomena mengagumkan di mata dunia. Setiap ahli punya opini sendiri tentang makna kata
"mudik". Kita akan lihat bersama beberapa pandangan
tersebut. Mudik dari Betawi? Dalam pergaulan masyarakat Betawi terdapat kata
"mudik" yang berlawanan dengan kata "milir". Bila
mudik berarti pulang, maka milir berarti pergi. Kata "milir" merupakan turunan dari "belilir" yang
berarti: pergi ke Utara. Dulu, tempat usaha banyak
berada di wilayah Utara - lihat sejarah Batavia dan
Sunda Kelapa. Karena itulah kata "mudik" bermakna:
Selatan. Pekerja Betawi pulang ke rumah atau mudik Sehubungan dengan kata ini, pendapat lain
mengungkapkan bahwa kaum urban di Sunda Kelapa
sudah ada sejak abad pertengahan. Orang-orang dari
luar Jawa mencari nafkah ke tempat ini, menetap dan
pulang kembali ke kampungnya saat hari raya Idul Fitri
tiba. Karena itulah, kata "mudik" dalam istilah Betawi juga mengartikan "menuju udik" (pulang kampung). Mudik, budaya Agraris? Ada pula pendapat mengatakan mudik merupakan
tradisi primordial masyarakat petani Jawa. Mereka
sudah mengenal tradisi ini bahkan jauh sebelum
Kerajaan Majapahit berdiri. Biasanya tujuan pulang kampung untuk membersihkan
pekuburan dan doa bersama kepada dewa-dewa di
kahyangan untuk memohon keselamatan kampung
halamannya yang rutin dilakukan sekali dalam setahun. Tradisi 'nyekar' masih terlihat hingga kini. Kebiasaan
membersihkan dan berdoa bersama di pekuburan
sanak keluarga sewaktu pulang kampung masih
banyak ditemukan di daerah Jawa. Mudik ada sejak nenek moyang? Bagaimana dengan pernyataan bahwa mudik telah ada
sejak zaman nenek moyang? Beberapa ahli mengaitkan
tradisi mudik ada, karena masyarakat Indonesia
merupakan keturunan Melanesia yang berasal dari
Yunan, Cina. Sebuah kaum yang dikenal sebagai
pengembara. Mereka menyebar ke berbagai tempat untuk mencari sumber penghidupan. Pada bulan-bulan yang dianggap baik, mereka akan
mengunjungi keluarga di daerah asal. Biasanya mereka
pulang untuk melakukan ritual kepercayaan atau
keagamaan. Pada masa kerajaan Majapahit, kegiatan
mudik menjadi tradisi yang dilakukan oleh keluarga
kerajaan. Sejak masuknya Islam, mudik dilakukan menjelang Lebaran. Mudik dalam kajian bahasa Arab Untuk menguatkan akar mudik berkaitan dengan tradisi
islami, beredar pula argumen makna mudik dalam
kajian ala timur-tengah. Kata "mudik" seperti istilah arab untuk "badui" sebagai
lawan kata "hadhory". Sehingga dengan sederhana bisa
diambil kesimpulan bahwa mudik, adalah kembali ke
kampung halaman. Mudik dari akar kata “ adhoo-a” yang berarti “
yang memberikan cahaya atau menerangi”
Ini bisa dipahami dengan mudah, bahwa mereka para
pemudik itu secara khusus memberikan ‘cahaya’
atau menerangi kampung-kampung halaman mereka. Mudik dari akar kata “ Adhoo-‘a”, yang berarti “
yang menghilangkan “
Selanjutnya, mudik berasal dari bahasa arab yang
berarti : orang yang menghilangkan. Hal ini juga akan
mudah kita tangkap, bahwa mereka pemudik itu adalah
orang-orang perantauan yang dipenuhi beban perasaan kerinduan, dan kesedihan karena jauh dari orangtua,
keluarga atau kampung halamannya. Karenanya
mereka melakukan aktifitas mudik , dalam rangka
‘menghilangkan’ semua kesedihan tersebut. Mudik dari akar kata “ adzaa-qo” yang berarti “
yang merasakan atau mencicipi “
Orang yang mudik ke kampung halaman pastilah
mereka yang ingin kembali ‘merasakan dan
mencicipi’ suasana kampung tempat kelahiran. --------------- -------------- Nah, sekarang saya akan menyarikan apa yang pernah
ditulis oleh budayawan, sastrawan, guru besar Jakob
Sumardjo. Buat kamu yang belum mengenalnya dan
ingin berkenalan dengan tulisannya, coba dulu baca
yang paling populer "Olenka". Ia juga populer sebagai
kolumnis yang kerap dimuat di koran-koran nasional. Kata "mudik" mengartikan "hulu".
Pada zaman pramodern hanya dikenal komunikasi
sosial lewat sungai. Hampir semua hunian tua di
Indonesia selalu berada di tepi sungai. Karena sungai
merupakan sarana komunikasi dan transportasi yang
vital, maka dikenal adanya istilah arah hulu dan hilir, mudik dan muara. Pada waktu itu, kalau orang mengatakan mau mudik,
jelas artinya mau pergi ke hulu. Dan kalau mau ke hilir,
berarti mau ke arah muara. Orang yang menuju ke hulu
dapat berarti “naik”, “munggah”, “pulang”,
“ke hutan”, “ke kebun”, “ke bukit”, “ke
kampung”. Sedangkan orang yang menuju ke hilir dapat berarti pergi, “keluar”, “ke pasar”,
“merantau”, “kerja”. Transportasi air di Sungai Brantas, Jawa Timur Dengan demikian arah hulu lebih bermakna
“perempuan” dan hilir bermakna “lelaki”.
Perempuan adalah hulu adalah rumah adalah kampung
halaman. Lelaki adalah hilir adalah luar adalah asing,
atau rantau. Dengan pola pikir yang demikian itu, munggah dan
mudik maknanya sama, yakni kembali ke ibu, ke
kampung halaman, ke nenek moyang, ke asal adanya,
ya kembali ke fitrahnya. Begitulah kesadaran kolektif
bangsa ini sejak zaman dahulu kala, yakni tidak pernah
melupakan jati dirinya, asal usulnya, nenek moyangnya, kampung halaman tempat ia dilahirkan.
Manusia Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, dalam
hubungan munggah dan mudik ini, selalu ingat asal
usulnya, indungnya, sangkan paran atau asal dan
tujuan hidup ini. Mengapa identik dengan Lebaran? Di zaman purba Indonesia ada upacara setiap tahun
yang bermakna manunggal dengan nenek moyang
sebuah komunitas. Sisa-sisa upacara demikian masih
lestari dalam bentuk bersih desa, ngalaksa, seren taun,
ngarot dan banyak lagi. Dalam upacara-upacara semacam itu dilakukan penyatuan manusia sebagai mikrokosmos dengan alam
sebagai makrokosmos dan arwah nenek moyang
berupa mitos-mitos sebagai metakosmos. Rangkaian upacaranya mulai dari mandi bersama
(bersih badan), pantang dan puasa, ziarah kubur, seni
pertunjukan yang mementaskan kisah mitologi nenek
moyang pendiri wilayah, dan akhirnya makan bersama
atau kenduri. Tempatnya bisa di tanah lapang, di balai
desa, di leuwi, di mata air, di kuburan desa. Bersih desa Dalam upacara-upacara tahunan semacam itulah seluruh penduduk kampung kumpul bersama, tua atau
muda atau kanak-kanak. Upacara menyatukan diri seluruh penduduk kampung
dengan makrokosmos dan metakosmos ini, dapat
bermakna sangkan-paran atau kembali menyatu
dengan yang asal. Mereka sedang munggah atau
mudik. Kembali ke indung asal kehidupan ini. Kembali
ke Sang Pencipta dengan seluruh warga yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Ketika agama Islam dipeluk oleh bangsa Indonesia,
maka sisa-sisa ritual primordial ini tidak dilenyapkan
karena sudah merupakan bagian dari arketip
budayanya. Kalau tidak melakukan, mereka merasa
ada yang hilang dari bagian dirinya sebagai kelompok. Padanan untuk itu adalah bulan puasa bagi umat Islam,
atau puncaknya pada hari Lebaran. Tradisi manusia
Indonesia untuk nyekar atau menebar bunga di
kuburan nenek moyang, mandi bersama di pantai atau
di sungai desa, mengirim makanan bagi sanak saudara,
yang semua itu dilakukan sebelum bulan puasa, adalah inkulturisasi Islam terhadap budaya sebelumnya.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India