Prolog Gerakan 30 September
Apa yang terjadi pada 30 September1 Oktober 1965
tentu tidak bisa dilepaskan dari rangkaian peristiwa sebelumnya. Secara
internasional, pada masa itu terjadi perang dingin antara blok Barat yang
dipimpin Amerika Serikat dan blok Timur di bawah Uni Soviet. AS yang berperang
di Vietnam tidak ingin Indonesia jatuh ke tangan komunis. Di dalam negeri,
kekuatan politik saat itu mengerucut kepada tiga unsur, yakni Presiden
Soekarno, Angkatan Darat, dan PKI. Pada tingkat masyarakat telah timbul konflik
horizontal antara kelompok kiri dan kalangan Islam (terutama yang memiliki
tanah luas) dalam kasus landreform yang ditegakkan melalui 'aksi sepihak' PKI
dan BTI. Di kalangan seniman juga terjadi polemik keras antara kubu Lekra dan
kelompok Manifesto Kebudayaan (Manikebu). Konflik-konflik itu diperparah dengan
situasi ekonomi yang sulit dan musim kering berkepanjangan yang menyebabkan
gagalnya banyak panen petani. Barang kebutuhan sehari-hari menjadi langka.
Situasi
yang panas itu semakin runcing dengan isu dewan jenderal, dokumen Gilchrist,
dan rumor sakitnya Presiden Soeharto. Maka, meletuslah Gerakan 30 September
yang dapat ditumpas dalam satu-dua hari. Tetapi, persoalannya tidak berhenti
sampai di situ karena peristiwa tersebut menyebabkan kekuasaan Presiden
Soeharto goyah secara bertahap. Mayjen Soeharto, figur yang paling diuntungkan
dari semua peristiwa itu, naik ke tampuk kekuasaan.
Kontroversi
tentang dalang Gerakan 30 September tidak berhenti sampai hari ini. Yang tidak
kalah pentingnya adalah melihat dan mengakui dampak peristiwa itu yang sangat
besar bagi bangsa dan negara Indonesia. Setelah peristiwa itu, terjadilah
pembunuhan massal di Jawa-Bali dan beberapa tempat lain yang memakan korban
tidak kurang dari 500 ribu orang. Kewarganegaraan ribuan orang (setelah puluhan
tahun kini tinggal 570 orang) mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di luar
negeri, terutama di negara-negara sosialis, dicabut dan terhalang pulang.
Mereka terlunta-lunta di negeri orang sampai akhirnya mencari suaka dan
terpaksa memperoleh kewarganegaraan asing. Pada 1969, lebih dari 10.000 tapol
1965 golongan B dibuang ke Pulau Buru dan melakukan kerja paksa di sana selama
lebih dari 10 tahun.
Selain
mengalami pembunuhan, penangkapan tanpa proses pengadilan, dan penahanan lebih
dari 10 tahun, para korban yang dianggap terlibat langsung/tidak langsung
peristiwa itu mengalami stigma buruk dari pemerintah. Keluarga mereka juga
mengalami diskriminasi dalam lapangan pekerjaan. Secara keseluruhan, jutaan
orang telah menjadi korban. Itulah epilog Gerakan 30 September yang tidak boleh
dilupakan.
Nama : Sahrul
Khair (A1A110227)
Dosen
: Prof. Drs. Alex A. Koroh
Materi : Prolog
Gerakan 30 S PKI
0 komentar:
Posting Komentar