Prolog G-30-S...yang sebenarnya...
Indonesia 1960-an termasuk negara yang tidak disukai oleh blok Barat
pimpinan Amerika Serikat (AS). Di era Perang Dingin itu konflik utama
dunia terjadi antara Kapitalis (dipimpin AS) melawan Komunis (RRT dan
Uni Soviet). AS sedang bersiap-siap mengirim ratusan ribu pasukan untuk
menghabisi komunis di Korea Utara. Sementara di Indonesia Partai Komunis
(PKI) merupakan partai legal. Saat kebencian AS terhadap Indonesia
memuncak dengan menghentikan bantuan, Presiden Soekarno menyambutnya
dengan pernyataan keras: Go to hell with your aid. Sebagai pemimpin
negara yang relatif baru lahir, Presiden Soekarno menerapkan kebijakan
berani: Berdiri pada kaki sendiri.
Dasar sikap Soekarno itu jelas: Alam Indonesia kaya raya. Minyak di
Sumatera dan Sulawesi, hutan maha lebat di Kalimantan, emas di Irian,
serta ribuan pulau yang belum terdeteksi kandungannya. Semua itu belum
mampu dieksplorasi oleh bangsa kita. Kekayaan alam ini dilengkapi dengan
lebih dari 100 juta penduduk yang merupakan pasar potensial, sehingga
ada harapan sangat besar bahwa pada suatu saat Indonesia akan makmur
tanpa bantuan Barat. Ini pula yang mengilhami sikap konfrontatif Bung
Karno: Ganyang Nekolim (neo-kolonialisme & imperialisme). Bung Karno
menyatakan, Indonesia hanya butuh pemuda bersemangat untuk menjadi
bangsa yang besar.
Akibatnya, sikap AS juga menjadi jelas: Gulingkan Presiden Soekarno.
Sikap AS ini didukung oleh komplotannya, Inggris dan Australia. Sejak AS
menghentikan bantuannya, mereka malah membangun hubungan dengan
faksi-faksi militer Indonesia. Mereka melengkapi dan melatih para
perwira dan pasukan Indonesia. Melalui operasi intelijen yang dimotori
oleh CIA, mereka menggelitik militer untuk merongrong Bung Karno. Usaha
kudeta muncul pada bulan November 1956. Deputi Kepala Staf TNI AD
Kolonel Zulkifli Lubis berusaha menguasai Jakarta dan menggulingkan
pemerintah. Namun usaha ini dipatahkan. Lantas, di Sumatera Utara dan
Sumatera Tengah militer berupaya mengambil-alih kekuasaan, tetapi juga
gagal. Militer - dengan pasokan bantuan AS - seperti mendapat angin
untuk menganggu Bung Karno. Namun, Bung Karno masih mampu menguasai
keadaan, karena banyak perwira militer yang sangat loyal pada Bung
Karno, kendati usaha AS menjatuhkan Bung Karno terus dirancang.
Sayangnya, konstelasi politik dalam negeri Indonesia pada saat itu juga
tidak stabil. Bung Karno berupaya keras menciptakan kestabilan, namun
kondisi memang sangat rumit. Ada tiga unsur kekuatan yang mendominasi
politik Indonesia, yaitu:
1.Unsur Kekuatan Presiden RI
2.Unsur Kekuatan TNI AD 2
3.Unsur Kekuatan PKI (Partai Komunis Indonesia).
Unsur kekuatan Presiden RI, yakni Presiden RI sebagai Kepala Negara,
Kepala Pemerintahan, Perdana Menteri, Pemimpin Besar Revolusi dan
Presiden seumur hidup, yakni Ir. Soekarno yang akrab dipanggil Bung
Karno. Anggota Kabinet Dwikora masuk dalam unsur kekuatan ini.
Unsur kekuatan TNI AD ada dua kubu: Kubu Yani (Letjen TNI Ahmad Yani)
dan Kubu Nasution (Letjen TNI Abdul Haris Nasution). Soeharto awalnya
termasuk dalam Kubu Nasution, walaupun kelak mendirikan kubu sendiri.
Sedangkan unsur PKI berkekuatan sekitar tiga juta anggota. Itu didukung
oleh sekitar 17 juta anggota organisasi-organisasi onderbouw PKI seperti
BTI, SOBSI dan Gerwani. Dengan jumlah itu PKI merupakan partai komunis
terbesar ketiga di dunia setelah RRT dan Uni Soviet. Dalam Pemilu 1957
PKI menempati urutan ke-4. Dan, sebagaimana umumnya partai besar, PKI
juga memiliki anggotanya di kabinet. Mereka adalah DN Aidit, Menko/Ketua
MPRS, Lukman sebagai Menko Wakil Ketua DPRGR dan Nyoto Menteri Urusan
Land-reform.
Sebenarnya, sejak 17 Oktober 1952 pemerintahan Soekarno sudah mulai
digoyang. Kubu Nasution membentuk Dewan Banteng dan Dewan Gajah di
Sumatera Selatan. Yang disebut dewan ini hanya penggalangan massa oleh
kubu Nasution, namun mereka terang-terangan menyebut diri sebagai
pemerintahan tandingan. Penyebab utamanya adalah karena mereka tidak
suka melihat kemesraan hubungan Soekarno-PKI.
Gerakan Kubu Nasution tidak cukup hanya menggalang massa sipil, namun
juga mempengaruhi militer agar ikut mendukung gerakannya. Sebagai
petinggi militer, bagi Nasution, itu adalah hal mudah.
Caranya, antara lain, Perjuangan Pembebasan Irian Barat digunakan untuk
membentuk Gerakan Front Nasional yang aktif di kegiatan politik. Inilah
awal usaha melibatkan militer ke dalam kegiatan politik yang kelak
dilestarikan oleh Orde Baru. Di sisi lain, Kubu Nasution menggalang
simpati rakyat dengan membentuk BKS yang melibatkan para pemuda, partai
politik, para petani, yang menyatu dengan militer di bawah payung TNI
AD.
Saat itu saya langsung membuat kesimpulan: Inilah doktrin perang tingkat
regional (karena memanfaatkan Perjuangan Pembebasan Irian Barat) hingga
tingkat desa (melibatkan petani). Maka, lengkaplah suatu gerakan
menentang pemerintah yang terencana dengan rapi, cerdik dan memiliki
kekuatan cukup potensial. Berdasarkan laporan intelijen saya, CIA berada
di belakang Nasution. Presiden Soekarno akhirnya mengetahui gerakan
menentang pemerintah itu. Soekarno tahu bahwa pemerintah sedang
terancam. Ia juga tahu bahwa biang keroknya adalah Nasution. Maka,
Soekarno pun langsung menghantam ulu hati persoalan dengan cara
membatasi peranan Nasution. Jabatan Nasution sebagai Kepala Staf
Angkatan Bersenjata tetap dipertahankan, tetapi peranannya dibatasi.
3
Nasution diberi tugas oleh Soekarno dalam urusan administratif pasukan.
Nasution dilarang ikut campur urusan operasional prajurit. Itu sama
artinya Nasution dimasukkan ke dalam kotak.
Gerakan Presiden itu diimbangi dengan pengangkatan Letjen A. Yani
sebagai Menpangad. Tugasnya, secara formal, jelas memimpin pasukan TNI
AD, namun di balik itu Yani mendapat misi khusus dari Presiden agar
membatasi desakan Kubu Nasution terhadap pemerintah. Ini semacam operasi
intelijen. Akibatnya, hubungan Nasution dengan Yani memburuk.
Mulanya, konflik Nasution-Yani tidak tampak di permukaan. Hanya kalangan
elite saja yang memahami situasi yang sebenarnya, sejak Yani diangkat.
Tetapi, beberapa waktu kemudian Yani mengganti beberapa Panglima Daerah
Militer (Pangdam). Para Pangdam yang diganti kemudian diketahui bahwa
mereka adalah orang-orangnya Nasution. Karena itu, tampaklah peta
situasi yang sesungguhnya. Itu gerakan militernya. Sedangkan gerakan
sipilnya, Presiden Soekarno bersama Wakil Perdana Menteri I, Dr.
Soebandrio (saya) memindahkan kedudukan Nasution dari Kepala Staf
Angkatan Bersenjata ke Penasihat Presiden. Itu terjadi menjelang akhir
tahun 1963. Tentu saja Nasution harus tunduk pada perintah Presiden.
Tidak ada alasan dia untuk mbalelo. Sebab, di kalangan tentara sendiri
sudah khawatir terjadi perpecahan ketika hubungan Nasution dengan A.
Yani memanas, sehingga jika seandainya Nasution melakukan tindakan
membangkang, pasti tidak akan didukung oleh pasukan di tingkat bawah.
Dan, kemungkinan ini pasti sudah dihitung secara cermat oleh Nasution.
Itu sebabnya ia tunduk. Langkah selanjutnya bagi Soekarno yaitu tinggal
menggunduli sisa-sisa kekuatan Kubu nasution. Antara lain, PARAN
(Panitia Retooling Aparatur negara, sebuah komisi penyelidik anti
korupsi yang dibentuk Nasution) dibubarkan pada awal tahun 1964. Sebagai
gantinya, Soekarno membentuk Komando Tertinggi Retooling Aparatur
Revolusi (KOTRAR) yang dipimpin oleh orang kepercayaan Soekarno, Dr.
Soebandrio (saya). Untuk memperkuat, Yani ditunjuk oleh Presiden menjadi
Kepala Staf KOTRAR.
Dari perpektif Soekarno, retaknya hubungan antara Yani dan Nasution
sudah merupakan kemenangan. Apalagi, kemudian Nasution dicopot dari
posisi strategis dan dimasukkan ke dalam kotak. Dengan begitu, politik
Negara dalam Negara yang sempat diciptakan oleh Nasution berubah menjadi
sangat lemah. Melihat kondisi demikian, para pimpinan Angkatan
Bersenjata justru cemas. Mereka khawatir, konflik antara Nasution dan
Yani itu akan merembet ke prajurit di lapisan bawah. Kalau itu terjadi,
tentu akibatnya bisa fatal. Kekhawatiran ini lantas disampaikan kepada
Presiden. Karena itu, Presiden Soekarno menugaskan beberapa perwira
senior, termasuk Mayjen Soeharto dan Pangdam Jawa Timur Basuki Rahmat,
untuk menemui Nasution. Tugasnya, menyarankan kepada Nasution agar
menyesuaikan diri dengan jalur yang sudah digariskan oleh Presiden
Soekarno. Jangan sampai ada pembangkangan.
Dua kubu yang berkonflik itu pada dasarnya sama-sama anti-PKI. Meskipun Yani
4
berada di pihak Bung Karno, namun Yani tidak menyukai PKI akrab dengan
Bung Karno. Sementara, Soeharto yang ditugasi menjadi perantara
mendamaikan Nasution dan Yani, cenderung berpihak kepada Nasution.
Konflik antara Nasution dan Yani itu ternyata tidak gampang didamaikan.
Suatu hari di awal tahun 1965 ada pertemuan penting yang dihadiri 12
jenderal AD di Mabes AD. Sebenarnya Nasution dan Yani juga diundang
dalam pertemuan itu, namun keduanya sama-sama tidak datang. Mereka
diwakili oleh penasihat masing-masing. Padahal, pertemuan itu
diselenggarakan dalam upaya mendamaikan Nasution dengan Yani. Alhasil,
pertemuan penting itu tidak mencapai tujuan utamanya, karena mereka yang
berkonflik tidak datang sendiri dan hanya diwakili.
Pada pertengahan April 1965 ada pertemuan yang lebih besar lagi. Kali
ini pertemuan dihadiri oleh sekitar 200 perwira militer di Mabes AD.
Dalam pertemuan itu Nasution dan Yani juga tidak datang. Namun pertemuan
itu melahirkan doktrin baru yang diberi nama: Tri Ubaya Sakti.
Pencetusnya adalah Soeharto. Intinya berisi tiga janji jujur dari
jajaran AD. Saya sudah lupa isi lengkapnya, namun substansinya demikian:
TNI berhak memberikan saran dan tugas politik tak terbatas kepada
Presiden RI.
Doktrin itu menimbulkan kecemasan baru di kalangn elite politik dan
masyarakat intelektual, karena dengan begitu semakin jelas bahwa AD
mempertahankan politik Negara dalam Negara yang sudah dirintis oleh
Nasution. Ini juga berarti bahwa Kubu Nasution menang terhadap Kubu Yani
yang didukung oleh Presiden Soekarno. Politik Muka Dua
Soeharto, salah satu perwira yang ditugasi menjadi perantara mendamaikan
Yani dan Nasution, berada di posisi yang tidak enak, karena Soeharto
memiliki memori buruk dengan Nasution maupun Yani. Penyebabnya adalah
perilaku Soeharto sendiri yang buruk. Itu terjadi saat Soeharto masih di
Divisi Diponegoro. Ceritanya, saat di Divisi Diponegoro Soeharto
menjalin hubungan dengan pengusaha Cina, Liem Sioe Liong (kelak mendapat
perlakuan istimewa dari Soeharto, sehingga Liem menjadi pengusaha
terbesar Indonesia). Perkawanan antara Soeharto dan Liem ini, antara
lain, menyelundupkan berbagai barang. Soeharto pernah berdalih bahwa
penyelundupan itu untuk kepentingan Kodam Diponegoro. Berita
penyelundupan itu cepat menyebar. Semua perwira saat itu mengetahuinya.
Bahkan terungkap bahwa penyelundupan itu bukan untuk kepentingan Kodam,
tetapi duitnya masuk kantong Soeharto dan Liem. Saat mengetahui ulah
Soeharto, kontan Yani marah. Pada suatu kesempatan Yani bahkan sampai
menempeleng Soeharto, karena penyelundupan itu dinilai memalukan korps.
AH Nasution lantas mengusulkan agar Soeharto diadili di mahkamah militer
dan segera dipecat dari AD. Namun, Mayjen Gatot Subroto mencegah,
dengan alasan bahwa perwira ini masih bisa dibina. Gatot lantas 5
mengusulkan kepada Presiden Soekarno agar Soeharto diampuni dan
disekolahkan di Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (Seskoad) di
Bandung.
Presiden Soekarno setuju saja. Karena itu, Soeharto masuk Seskoad dan
diterima oleh Dan Seskoad Brigjen Suwarto. Saat itu Seskoad tidak hanya
mengajarkan pendidikan kemiliteran, tapi juga bidang ekonomi dan
pemerintahan. Para perwira di Seskoad berfungsi sebagai guru teori
Negara dalam Negara.
Karena itulah, saat Soeharto ditugasi menjadi perantara mendamaikan Yani
dengan Nasution, ia berada di posisi serba tidak enak. Yani pernah
menempelengnya, sedangkan Nasution pernah mengusulkan agar dia dipecat
dari AD dan diadili di Mahkamah Militer. Tetapi, toh Soeharto memilih
berpihak ke Nasution, sehingga yang kelihatan adalah bahwa Soeharto
berada di dalam Kubu Nasution. Namun akhirnya Soeharto membangun kubu
sendiri. Kubu Soeharto terbentuk ketika kepercayaan AS terhadap Nasution
mulai luntur. Ini disebabkan oleh fungsi Nasution terhadap
pemberontakan Permesta, kampanye pembebasan Irian Barat dan slogan
Ganyang Malaysia tidak efektif. Tiga hal itu membuat kepentingan AS
terhadap Indonesia khususnya dan Asia Tenggara umumnya, terganggu,
sehingga AS tidak lagi akrab dengan Nasution. Keakraban AS dengan
Nasution - dari perspektif AS - awalnya perlu untuk mengimbangi
kebijakan Bung Karno yang cenderung lunak pada PKI. Di saat kepercayaan
AS terhadap Nasution luntur dan Soeharto sudah menjadi Pangkostrad,
Soeharto membangun kubu sendiri. Awal Januari 1965 di kantor Kedutaan
Besar RI untuk Yugoslavia di Beograd, datang sepucuk surat yang
ditujukan kepada Dubes RI untuk Yugoslavia, Yoga Soegama (kelak
dijadikan Kepala Bakin oleh Soeharto). Pengirimnya adalah Pangkostrad
Soeharto. Isinya: Yoga ditawari pulang ke Jakarta dengan jabatan baru:
Kepala Intelijen Kostrad. Tawaran itu menarik bagi Yoga. Karena itu,
pada 5 Februari 1965 Yoga sudah tiba di Jakarta, langsung menghadap
Panglima Kostrad di rumahnya, Jalan H Agus Salim. Mereka bermusyawarah
di sana. Itulah awal terbentuknya Kubu Soeharto.
Pemanggilan Yoga Soegama dari Beograd oleh Soeharto itu mengandung tiga
indikasi: Pertama, Yoga kembali ke Indonesia tidak melalui jalur normal.
Seharusnya penarikan Yoga dari jabatan Duta Besar RI untuk Yugoslavia
di Beograd dilakukan oleh Menpangad Yani, sebab Yoga adalah perwira AD.
Tetapi, kenyataannya Yoga ditarik oleh surat panggilan Pangkostrad
Mayjen Soeharto. Kedua, tujuan kepulangan Yoga ke tanah air adalah
bersama-sama Soeharto menyabot (sabotase) politik-politik Bung Karno.
Ketiga, mereka bertujuan menghancurkan PKI. Tiga indikasi ini bukan
kesimpulan saya. Tetapi, ini diungkapkan oleh Ali Moertopo (salah satu
anggota trio Soeharto-Yoga) dengan rasa bangga dan tanpa tedeng
aling-aling (secara blak-blakan). Ali mengungkap hal itu dengan gaya
seperti orang tidak berdosa.
Bagi Soeharto, menarik seorang pejabat dengan cara begitu adalah hal
biasa. Padahal dia sudah melangkahi garis hubungan hierarki dan komando.
Dengan cara yang melanggar aturan itu dia membentuk kubunya.
Pokok-pokok masalah yang
6
menjadi perhatian kubunya sama sekali tidak menyangkut hal yang
berkaitan dengan Panglima AD, tetapi menyangkut politik nasional dan
internasional. Perhatian kubu itu tertuju pada Bung Karno dan PKI.
Kubu Soeharto disebut juga Trio Soeharto-Yoga-Ali. Untuk selanjutnya
kita sebut Kelompok Bayangan Soeharto. Mereka bersatu dengan cara-cara
tersamar. Mereka bergerak di bawah permukaan. Awalnya teman lama dan
sudah merupakan satu tim kompak ketika sama-sama berada di Kodam
Diponegoro. Kekompakan trio ini sudah teruji saat mematahkan rencana
pimpinan AD memilih Pangdam Diponegoro. Kekompakan mereka dilanjutkan di
Jakarta.
Tentang kekompakan trio Soeharto mematahkan rencana pimpinan AD,
ceritanya demikian: Saat itu pimpinan AD mencalonkan Kolonel Bambang
Supeno menjadi Pangdam Diponegoro. Rencana pencalonan Bambang itu
kemudian diketahui oleh para perwira di sana. Soeharto yang saat itu
masih berpangkat Letnan Kolonel, juga mendengar. Hebatnya, meskipun
pangkat Soeharto lebih rendah dibanding Bambang Supeno, namun ia berani
merebut posisi Pangdam. Caranya, dengan menggunakan strategi yang kotor
namun terselubung.
Di saat rencana pengangkatan Bambang Supeno menjadi Pangdam Diponegoro
bocor, ada sebuah rapat gelap di Kopeng, Jateng, yang dihadiri beberapa
perwira Kodam Diponegoro. Rapat itu dikoordinir oleh Soeharto melalui
salah satu anggota trionya, Yoga Soegama. Tetapi, Soeharto sendiri tidak
hadir. Intinya, rapat memutuskan bahwa Soeharto harus tampil sebagai
Pangdam Diponegoro. Jika tidak, Yoga dan Soeharto akan manggalang
kekuatan untuk bersama-sama menolak pencalonan Bambang Supeno. Saat itu
pencalonan Bambang menjadi Pangdam belum ditandatangani oleh Presiden,
sehingga Soeharto yang berupaya merebut jabatan itu harus berpacu dengan
waktu.
Namun, ternyata skenario Soeharto (melalui Yoga) ini tidak didukung oleh
para perwira peserta rapat. Dari puluhan perwira yang hadir, hanya
seorang perwira kesehatan Kolonel dr.Suhardi yang menandatangani, tanda
setuju atau mendukung pernyataan sikap itu. Yang lain tidak.
Yoga semula mengaku bahwa pertemuan itu tidak diberitahukan lebih dulu
kepada Soeharto. Ini bisa diartikan bahwa bukan Soeharto pembuat
skenario. Ketika dua orang utusan Kodam Diponegoro hendak ke Jakarta
untuk meminta tanda tangan Presiden tentang pengangkatan Bambang Supeno,
barulah rapat gelap itu disebarkan. Berdasarkan memori Yoga yang
terungkap kemudian, rapat itu adalah gagasan Soeharto. Pengakuan awal
Yoga bahwa Soeharto tidak mengetahui rapat tersebut - dikatakan Yoga -
agar ridak menimbulkan kecurigaan dari Jakarta bahwa Soeharto menggalang
kekuatan, menolak pencalonan Bambang Supeno. Tetapi, tentang hal ini
tidak ada konfirmasi, apakah benar rapat gelap itu dikoordinir Soeharto
melalui Yoga atau atas inisiatif Yoga sendiri.
Sebagai pembanding: salah seorang anggota trio Soeharto, Ali Moertopo,
menyatakan bahwa pada saat itu ia adalah komandan pasukan Raiders yang 7
diminta membantu Yoga melancarkan operasi intelijen. Tidak dirinci
bentuk operasi intelijen yang dimaksud, namun tujuannya adalah
mengusahakan agar Soeharto menjadi Panglima Diponegoro. Tetapi, Ali sama
sekali tidak menjelaskan siapa yang meminta dia, Yoga atau Soeharto.
Atau mungkin kedua-duanya. Terlepas dari apakah Yoga berbohong atau
tidak soal koordinator rapat gelap itu, tetapi rangkaian pernyataan Yoga
dan Ali Moertopo itu menunjukkan adanya suatu komplotan Soeharto.
Komplotan yang bergerak dalam operasi intelijen. Soeharto adalah dalang
yang sedang memainkan wayang-wayangnya. Tentu, dalangnya tidak perlu
terjun langsung.
Akhirnya, nasib mujur bagi para wayang tersebut, karena komplotan ini
berhasil. Bambang Supeno tidak jadi Pangdam, melainkan Soeharto yang
tampil menjadi Pangdam Diponegoro. Dari proses komplotan itu bekerja,
bisa digambarkan jika seandainya Soeharto tidak jadi Pangdam dan
skenario rapat gelap itu terbongkar sehingga diketahui pimpinan AD, maka
pasti Soeharto akan terhindar dari jerat hukum. Ia bisa dengan mudah
berkhianat sebab ia tidak ikut rapat gelap itu. Yang paling berat
risikonya tentu adalah Kolonel dr. Suhardi.
Saya menyimpulkan demikian, sebab hal itu pernah dilakukan oleh Soeharto
dan komplotannya ketika ia melakukan percobaan kudeta pada 3 Juli 1946.
Namun kudeta itu gagal dan Soeharto berbalik arah mengkhianati
komplotannya sendiri. Soeharto menangkap komplotannya dan berdalih
mengamankan negara. Soal itu, sekilas saya ceritakan sebagai berikut:
Percobaan kudeta 3 Juli 1946 dilancarkan di bawah pimpinan Tan Malaka
dari Partai Murba. Tan Malaka mengajak kalangan militer Jawa Tengah,
termasuk Soeharto. Yang akan digulingkan adalah Perdana Menteri Sjahrir.
Awalnya, 20 Juni 1946 PM Sjahrir dan kawan-kawan diculik di Surakarta.
Penculiknya adalah kelompok militer di bawah komando Divisi III dipimpin
oleh Sudarsono. Soeharto selaku salah seorang komandan militer
Surakarta terlibat dalam penculikan itu. 2 Juli 1946 kelompok penculik
berkumpul di markas Soeharto sebanyak dua batalyon. Pasukan lantas
dikerahkan untuk menguasai beberapa sektor strategis seperti RRI dan
Telkom. Malam itu juga mereka menyiapkan surat keputusan pembubaran
Kabinet Sjahrir dan menyusun kabinet baru yang sedianya akan
ditandatangani oleh Presiden Soekarno di Istana Negara Yogyakarta, esok
harinya. SK dibuat dalam empat tingkat. Keputusan Presiden dimuat dalam
maklumat nomor 1, 2 dan 3. Semua maklumat mengarah ke kudeta. Misalnya,
maklumat nomor dua berbunyi demikian: Atas desakan rakyat dan tentara
dalam tingkatan kedua terhadap Ketua Revolusi Indonesia yag berjuang
untuk rakyat, maka kami atas nama Kepala Negara hari ini memberhentikan
seluruh kementrian negara Sutan Sjahrir. Yogyakarta, 3 Juli 1946,
tertanda: Presiden RI Soekarno. Tetapi percobaan kudeta ini ternyata
gagal. Para pelakunya ditangkap dan ditahan. Persis pada saat itu
Soeharto berbalik arah. Ia yang semula berkomplot dengan 8
penculik, berbalik menangkapi komplotan penculik. Ia berdalih,
keberadaannya sebagai anggota komplotan penculik merupakan upaya
Soeharto mengamankan penculik. Itulah karakter Soeharto dan ia bangga
dengan hal itu. Soeharto tidak merasa malu berbalik arah dari penjahat
menjadi menyelamat. Malah, dalam buku otobiografinya, Soeharto menyebut
sekilas peristiwa itu, tetapi menurut versi dia yang tentu saja faktanya
dia balik sendiri. Pada awal Indonesia merdeka itu Soeharto sudah
menerapkan politik Bermuka Dua.
Embrio Dewan Jenderal
Pada akhir tahun 1963 saya selaku Waperdam dan Menlu berkunjung ke RRT.
Ini kunjungan kenegaraan, saya mewakili Presiden Soekarno. Di sana saya
disambut hangat. Bisa jadi sambutan itu karena Indonesia punya PKI. Saya
diterima sekaligus oleh tiga pimpinan puncak, Perdana Menteri Chou
En-Lai, Presiden Mao Tse-Tung (Liu Shao-Chi?) dan Menlu Chen Yi. Kami
tahu, mereka menaruh simpati pada Presiden Soekarno. Kepemimpinan Bung
Karno dikagumi oleh banyak pemimpin negara-negara lain. Konferensi
Asia-Afrika di Indonesia yang sukses, gerakan negara-negara Non-Blok ide
Bung Karno, membuat beliau dikagumi oleh para pemimpin dunia, termasuk
pemimpin RRT. Inti pembicaraan kami, pimpinan RRT menawarkan kepada
Indonesia bantuan peralatan militer untuk 40 batalyon tentara. Ini
peralatan lengkap, mulai dari senjata manual, otomatis, tank dan
kendaraan lapis baja. Hebatnya, semua itu gratis. Juga tanpa syarat.
Mendapat tawaran itu, saya atas nama Presiden mengucapkan terima kasih.
Tetapi saya belum bisa menjawab, sebab bukan kapasitas saya untuk
menerima atau menolak. Saya harus melaporkan hal ini kepada Presiden.
Dan begitu tiba di tanah air, tawaran itu langsung saya laporkan kepada
Bung Karno. Saya lihat, tanpa banyak pikir lagi Bung Karno menyatakan:
Ya, diterima saja. Menurut pandangan saya pribadi memang seharusnya
begitu. Terlepas apa kepentingan RRT memberikan persenjataan gratis
kepada kita, asal bantuan itu tidak mengikat, mengapa tidak diterima?
Pernyataan Presiden Soekarno menerima bantuan RRT itu lantas saya
sampaikan kepada pimpinan RRT. Mereka gembira mendengarnya. Mereka
menyatakan bahwa akan segera menyiapkan barang tersebut. Mereka juga
meminta konfirmasi kepada kami, kapan barang bisa dikirim. Hal ini saya
sampaikan kepada Bung Karno. Namun, masalah ini macet sampai di sini.
Bung Karno tidak segera menjawab, kapan barang itu bisa dikirim. Pihak
RRT juga tidak mengirimkan barang tersebut.
Baru sekitar awal tahun 1965 Bung Karno punya ide membentuk Angkatan
Kelima. Tujuannya adalah untuk menampung bantuan senjata dari RRT. Saat
itu persenjataan untuk empat angkatan (Angkatan Darat, Angkatan Laut,
Angkatan Udara dan Angkatan Kepolisian) dianggap sudah cukup. Karena
itu, agar bantuan senjata tersebut bisa dimanfaatkan secara maksimal,
Bung Karno punya ide 9
membentuk Angkatan Kelima. Jika persenjataan yang dikirim cukup untuk 40
batalyon, maka Angkatan Kelima berkekuatan sekitar itu. Sebab tujuannya
memang untuk memanfaatkan maksimal pemberian senjata gratis RRT. Tetapi
- ini yang sangat penting - Bung Karno belum merinci bentuk Angkatan
Kelima. Beliau hanya mengatakan demikian: Angkatan Kelima tidak sama
dengan angkatan yang sudah ada. Ini adalah pasukan istimewa yang berdiri
sendiri, tidak terkait dengan angkatan lain. Hal ini perlu saya
tegaskan, karena kemudian beredar isu bahwa Angkatan Kelima adalah para
buruh dan petani yang dipersenjatai. PKI memang pernah mengatakan hal
ini, tetapi Bung Karno belum pernah merinci, bagaimana bentuk Angkatan
Kelima itu.
Setelah Bung Karno jatuh dari kekuasaannya, isu ini dijadikan bahan
sejarah. Bahkan masuk di dalam buku sejarah yang dipelajari di sekolah.
Tentu Bung Karno tidak dapat membantah isu tersebut sebab sejak beberapa
waktu kemudian praktis Bung Karno menjadi tawanan Soeharto sampai
beliau meninggal dunia. Bung Karno sudah menjadi pihak yang terkalahkan,
sehingga masyarakat tidak lagi berpikir jernih melihat Bung Karno.
Kalau masyarakat berpikir jernih, pasti muncul analisis, hanya pimpinan
bodoh yang mempersenjatai buruh dan petani di negara yang relatif baru
lahir, karena jelas hal itu akan membuat negara dalam kondisi sangat
berbahaya. Semua tahu bahwa Bung Karno tidak bodoh. Atau, bisa jadi
masyarakat saat itu ada yang berpikiran jernih, tetapi mereka tidak
berani mengungkapkan. Bukankah pada zaman Orde Baru bicara politik -
apalagi membahas sejarah versi Orba - bisa membuat yang bersangkutan
tidak lagi bisa pulang ke rumahnya?
Meskipun saat ide tersebut dilontarkan oleh Bung Karno belum ada
embel-embel buruh dan petani dipersenjatai, tetapi kalangan militer
tidak setuju. Menpangad Letjen A Yani sudah menyampaikan langsung kepada
Presiden bahwa ia tidak setuju dibentuk Angkatan Kelima. Para jenderal
lainnya mendukung sikap Yani. Mereka tidak setuju ada angkatan lain.
Empat angkatan dianggap sudah cukup. Setelah Yani menyampaikan sikapnya
kepada Presiden, masalah ini kemudian menjadi pembicaraan di kalangan
elite politik. Dan pembicaraan tentang itu menjadi berlarut-larut. Juga
muncul banyak spekulasi tentang bentuk Angkatan Kelima. Muncul pula
berbagai praduga tentang penolakan Yani terhadap ide Bung Karno itu.
Sementara, Bung Karno sendiri tetap tidak menjelaskan secara rinci
bentuk Angkatan Kelima tersebut. Saya sebagai orang yang paling dekat
dengan Bung Karno saat itu pun tidak diberitahu.
Sampai akhirnya Bung Karno memanggil Yani. Dijadwalkan, Yani akan
diterima oleh Presiden di Istana Negara pada tanggal 1 Oktober 1965
pukul 08.00 WIB. Agendanya, Yani akan ditanya lagi tentang Angkatan
Kelima. Seorang sumber saya mengatakan, ketika Yani menerima surat
panggilan dari Presiden, beberapa hari sebelum 1 Oktober 1965, Yani
sempat mengatakan: Saya mungkin akan dicopot dari Menpangad, sebab saya
tidak setuju Angkatan Kelima. Ucapan Yani ini juga cepat menyebar.
Bahkan beredar isu di kalangan petinggi
10
AD bahwa pengganti Yani adalah orang kedua di AD, yakni Gatot Subroto.
Namun Yani dibunuh beberapa jam sebelum ia menghadap Presiden Soekarno.
Jika diperkirakan Yani dibantai sekitar pukul 04.00 WIB, berarti empat
jam kemudian mestinya ia menghadap Presiden.
11
BAB II Gerakan Yang Dipelintir
Bung Karno Masuk Angin
Ada peristiwa kecil, namun dibesar-besarkan oleh Kelompok Bayangan
Soeharto, sehingga kemudian menjadi sangat penting dalam sejarah
Indonesia. Peristiwa itu adalah sakitnya Bung Karno pada awal Agustus
1965.
Dalam buku-buku sejarah banyak ditulis bahwa sakitnya Bung Karno pada
saat itu adalah sangat berat. Dikabarkan, pimpinan PKI DN Aidit sampai
mendatangkan dokter dari RRT. Dokter RRT yang memeriksa Bung Karno
menyatakan bahwa Bung Karno sedang kritis. Intinya, jika tidak meninggal
dunia, Bung Karno dipastikan bakal lumpuh. Ini menggambarkan bahwa Bung
Karno saat itu benar-benar sakit parah.
Dari peristiwa itu (seperti ditulis di berbagai buku) lantas dianalisis
bahwa PKI - yang saat itu berhubungan mesra dengan Bung Karno - merasa
khawatir pimpinan nasional bakal beralih ke tangan orang AD. PKI tentu
tidak menghendaki hal itu, mengingat PKI sudah bermusuhan dengan AD
sejak pemberontakan PKI di Madiun, 1948. Menurut analisis tersebut,
begitu PKI mengetahui bahwa Bung Karno sakit keras, mereka menyusun
kekuatan untuk merebut kekuasaan. Akhirnya meletus G30S.
Ini alibi rekayasa Soeharto yang mendasari tuduhan bahwa PKI adalah
dalang G30S. Ini juga ditulis di banyak buku, sebab memang hanya itu
informasi yang ada dan tidak dapat dikonfirmasi, karena pelakunya - Bung
Karno, DN Aidit dan dokter RRT - ketiga-tiganya tidak dapat memberikan
keterangan sebagai bahan perbandingan. Bung Karno ditahan sampai
meninggal. Aidit ditembak mati tanpa proses pengadilan; sedangkan dokter
RRT itu tidak jelas keberadaannya. Itulah sejarah versi plintiran.
Tetapi ada saksi lain selain tiga orang itu, yakni saya sendiri dan
Wakil Perdana Menteri-II, dr. Leimena. Jangan lupa, saya adalah dokter
yang sekaligus dekat dengan Bung Karno. Saya juga mengetahui secara
persis peristiwa kecil itu. Yang benar demikian: memang Bung Karno
diperiksa oleh seorang dokter Cina yang dibawa oleh Aidit, tetapi
dokternya bukan didatangkan dari RRT, melainkan dokter Cina dari
Kebayoran Baru, Jakarta, yang dibawa oleh Aidit. Fakta lain: Bung Karno
sebelum dan sesudah diperiksa dokter itu juga saya periksa. Pemeriksaan
yang saya lakukan didampingi oleh dr. Leimena. Jadi ada tiga dokter yang
memeriksa Bung Karno.
Penyakit Bung Karno saat itu adalah: masuk angin. Ini jelas dan dokter Cina itu 12
juga mengatakan kepada Bung Karno di hadapan saya dan Leimena bahwa Bung
Karno hanya masuk angin. DN Aidit juga mengetahui penyakit Bung Karno
ini. Mengenai penyebabnya, sayalah yang tahu. Beberapa malam sebelumnya,
Bung Karno jalan-jalan meninjau beberapa pasar di Jakarta. Tujuannya
adalah melihat langsung harga bahan kebutuhan pokok. Jalan keluar-masuk
pasar di malam hari tanpa pengawalan yang memadai sering dilakukan Bung
Karno. Nah, itulah penyebab masuk angin.
Tetapi kabar yang beredar adalah bahwa Bung Karno sakit parah. Lantas
disimpulkan bahwa karena itu PKI kemudian menyusun kekuatan untuk
mengambil-alih kepemimpinan nasional. Akhirnya meletus G30S yang
didalangi oleh PKI. Kabar itu sama sekali tidak benar. DN Aidit tahu
kondisi sebenarnya. Ini berarti bahwa kelompok Soeharto sengaja
menciptakan isu yang secara logika membenarkan PKI berontak atau
menyebarkan kesan (image) bahwa dengan cerita itu PKI memiliki alasan
untuk melakukan kudeta.
Ketika Kamaruzaman alias Sjam diadili, ia memperkuat dongeng kelompok
Soeharto. Sjam adalah kepala Biro Khusus PKI sekaligus perwira intelijen
AD. Sjam mengaku bahwa ketika Bung Karno jatuh sakit, ia dipanggil oleh
Aidit ke rumahnya pada tanggal 12 Agustus 1965. Ia mengaku bahwa
dirinya diberitahu oleh Aidit mengenai seriusnya sakit Presiden dan
adanya kemungkinan Dewan Jenderal mengambil tindakan segera apabila Bung
Karno meninggal. Masih menurut Sjam, Aidit memerintahkan dia untuk
meninjau kekuatan kita dan mempersiapkan suatu gerakan. Pengakuan Sjam
ini menjadi rujukan di banyak buku. Tidak ada balance, tidak ada
pembanding. Yang bisa memberikan balance sebenarnya ada lima orang yaitu
Bung Karno, Aidit, dokter Cina (saya lupa namanya), Leimena dan saya
sendiri. Tetapi setelah meletus G30S semuanya dalam posisi lemah. Ketika
diadili, saya tidak diadili dengan tuduhan terlibat G30S, sehingga
tidak relevan saya ungkapkan.
Kini saya katakan, semua buku yang menyajikan cerita sakitnya Bung Karno
itu tidak benar. Aidit tahu persis bahwa Bung Karno hanya masuk angin,
sehingga tidak masuk akal jika ia memerintahkan anak buahnya, Sjam,
untuk menyiapkan suatu gerakan. Ini jika ditinjau dari logika: PKI ingin
mendahului merebut kekuasaan sebelum sakitnya Bung Karno semakin parah
dan kekuasaan akan direbut oleh AD. Logikanya, Aidit akan tenang-tenang
saja, sebab bukankah Bung Karno sudah akrab dengan PKI? Mengapa PKI
perlu menyiapkan gerakan di saat mereka disayangi oleh Presiden Soekarno
yang segar bugar?
Intinya, pada bulan Agustus 1965 kelompok bayangan Soeharto jelas
kelihatan ingin secepatnya memukul PKI. Caranya, mereka melontarkan
provokasi-provokasi seperti itu. Provokasi adalah cara perjuangan yang
digunakan oleh para jenderal AD kanan untuk mendorong PKI mendahului
memukul AD. Ini taktik untuk merebut legitimasi rakyat. Jika PKI memukul
AD, maka PKI ibarat dijebak masuk ladang pembantaian (killing field).
Sebab, AD akan - dengan seolah-olah 13
terpaksa - membalas serangan PKI. Dan, serangan AD terhadap PKI ini
malah didukung rakyat, sebab seolah-olah hanya membalas. Ini taktik AD
Kubu Soeharto untuk menggulung PKI. Jangan lupa, PKI saat itu memiliki
massa yang sangat besar, sehingga tidak dapat ditumpas begitu saja tanpa
taktik yang canggih. Tetapi PKI tidak juga terpancing. Pelatuk tidak
juga ditarik meskipun PKI sudah diprovokasi sedemikian rupa. Mungkin PKI
sadar bahwa mereka sedang dijebak. Peran Aidit sangat besar, dengan
tidak memberikan instruksi kepada anggotanya. Tetapi toh akhirnya PKI
dituduh mendalangi G30S, walaupun keterlibatan langsung PKI dalam
peristiwa itu belum pernah diungkap secara jelas. Pelaku G30S adalah
tentara dan gerakan itu didukung oleh Soeharto yang juga tentara.
Sedangkan Aidit langsung ditembak mati tanpa proses pengadilan. Dewan
Jenderal
Isu Dewan Jenderal sebenarnya bersumber dari Angkatan Kelima. Dan
seperti diungkap di bagian terdahulu, Angkatan Kelima bersumber dari
rencana sumbangan persenjataan gratis dari RRT. Tiga hal ini berkaitan
erat. Pada bagian terdahulu diungkapkan bahwa tawaran bantuan
persenjataan gratis untuk sekitar 40 batalyon dari RRT diterima Bung
Karno. Hanya tawaran yang diterima, barangnya belum dikirim. Bung Karno
lantas punya ide membentuk Angkatan Kelima. Tapi Bung Karno belum
merinci bentuk Angkatan Kelima itu. Ternyata Menpangad Letjen A Yani
tidak menyetujui ide mengenai Angkatan Kelima itu. Para perwira ABRI
lainnya mengikuti Yani, tidak setuju pada ide Bung Karno itu. Empat
angkatan dinilai sudah cukup. Karena itulah berkembang isu mengenai
adanya sekelompok perwira AD yang tidak puas terhadap Presiden. Isu
terus bergulir, sehingga kelompok perwira yang tidak puas terhadap
Presiden itu disebut Dewan Jenderal. Perkembangan isu selanjutnya adalah
bahwa Dewan Jenderal akan melakukan kup terhadap Presiden.
Menjelang G30S meletus, Presiden memanggil Yani agar menghadap ke
Istana. Yani rupanya merasa bahwa ia akan dimarahi oleh Bung Karno
karena tidak menyetujui Angkatan Kelima. Yani malah sudah siap kursinya
(Menpangad) akan diberikan kepada orang lain. Saat itu juga beredar isu
kuat bahwa kedudukan Yani sebagai Menpangad akan digantikan oleh
wakilnya, Mayjen Gatot Subroto. Presiden Soekarno memerintahkan agar
Yani menghadap ke Istana pada 1 Oktober 1965 pukul 08.00 WIB. Tetapi
hanya beberapa jam sebelumnya Yani diculik dan dibunuh. Yang paling
serius menanggapi isu Dewan Jenderal itu adalah Letkol Untung Samsuri.
Sebagai salah satu komandan Pasukan Kawal Istana - Cakra Birawa - ia
memang harus tanggap terhadap segala kemungkinan yang membahayakan
keselamatan Presiden. Untung gelisah. Lantas Untung punya rencana
mendahului gerakan Dewan Jenderal dengan cara menangkap mereka. Rencana
ini disampaikan Untung kepada Soeharto. Menanggapi itu Soeharto
mendukung. Malah Untung dijanjikan akan diberi bantuan pasukan. Ini
diceritakan oleh
14
Untung kepada saya saat kami sama-sama ditahan di LP Cimahi, Bandung (lengkapnya simak sub-bab Menjalin Sahabat Lama).
Saya menerima laporan mengenai isu Dewan Jenderal itu pertama kali dari
wakil saya di BPI (Badan Pusat Intelijen), tetapi sama sekali tidak
lengkap. Hanya dikatakan bahwa ada sekelompok jenderal AD yang disebut
Dewan Jenderal yang akan melakukan kup terhadap Presiden. Segera setelah
menerima laporan, langsung saya laporkan kepada Presiden. Saya lantas
berusaha mencari tahu lebih dalam. Saya bertanya langsung kepada Letjen
Ahmad Yani tentang hal itu. Jawab Yani ternyata enteng saja, memang ada,
tetapi itu Dewan yang bertugas merancang kepangkatan di Angkatan
Bersenjata dan bukan Dewan yang akan melakukan kudeta.
Masih tidak puas, saya bertanya kepada Brigjen Soepardjo (Pangkopur II).
Dari Soepardjo saya mendapat jawaban yang berbeda. Kata Soepardjo:
Memang benar. Sekarang Dewan Jenderal sudah siap membentuk menteri baru.
Pada 26 September 1965 muncul informasi yang lebih jelas lagi.
Informasi itu datang dari empat orang sipil. Mereka adalah Muchlis
Bratanata, Nawawi Nasution, Sumantri dan Agus Herman Simatupang. Dua
nama yang disebut terdahulu adalah orang NU sedangkan dua nama
belakangnya dri IPKI. Mereka cerita bahwa pada tanggal 21 September 1965
diadakan rapat Dewan Jenderal di Gedung Akademi Hukum Militer di
Jakarta. Rapat itu membicarakan antara lain: Mengesahkan kabinet versi
Dewan Jenderal.
Muchlis tidak hanya bercerita, ia bahkan menunjukkan pita rekaman
pembicaran dalam rapat. Dalam rekaman tersebut ada suara Letjen S.
Parman (salah satu korban G30S) yang membacakan susunan kabinet.
Susunan kabinet versi Dewan Jenderal - menurut rekaman itu - adalah
sebagai berikut: Letjen AH Nasution sebagai Perdana Menteri Letjen A
Yani sebagai Waperdam-I (berarti menggantikan saya) merangkap Menteri
Hankam, Mayjen MT Haryono menjadi Menteri Luar Negeri, Mayjen Suprapto
menjadi Menteri Dalam Negeri, Letjen S Parman sendiri menjadi Menteri
Kehakiman, Ibnu Sutowo (kelak dijadikan Dirut Pertamina oleh Soeharto)
menjadi menteri Pertambangan. Rekaman ini lantas saya serahkan kepada
Bung Karno. Jelas rencana Dewan Jenderal ini sangat peka dan sifatnya
gawat bagi kelangsungan pemerintahan Bung Karno. Seharusnya rencana ini
masuk klasifikasi sangat rahasia. Tetapi mengapa bisa dibocorkan oleh
empat orang sipil? Saya menarik kesimpulan: tiada lain kecuali sebagai
alat provokasi. Jika alat provokasi, maka rekaman itu palsu. Tujuannya
untuk mematangkan suatu rencana besar yang semakin jelas gambarannya.
Bisa untuk mempengaruhi Untung akan semakin yakin bahwa Dewan Jenderal -
yang semula kabar angin - benar-benar ada. Hampir bersamaan waktunya
dengan isu Dewan Jenderal, muncul Dokumen Gilchrist. Dokumen ini
sebenarnya adalah telegram (klasifikasi sangat rahasia) 15
dari Duta Besar Inggris untuk Indonesia di Jakarta Sir Andrew Gilchrist
kepada Kementrian Luar Negeri Inggris. Dokumen itu bocor ketika hubungan
Indonesia-Inggris sangat tegang akibat konfrontasi Indonesia-Malaysia
soal Borneo (sebagian wilayah Kalimantan). Saat itu Malaysia adalah
bekas koloni Inggris yang baru merdeka. Inggris membantu Malaysia
mengirimkan pasukan ke Borneo. Saya adalah orang yang pertama kali
menerima Dokumen Gilchrist. Saya mendapati dokumen itu sudah tergeletak
di meja kerja saya. Dokumen sudah dalam keadaan terbuka, mungkin karena
sudah dibuka oleh staf saya. Menurut laporan staf, surat itu dikirim
oleh seorang kurir yang mengaku bernama Kahar Muzakar, tanpa identitas
lain, tanpa alamat. Namun berdasarkan informasi yang saya terima, surat
tersebut mulanya tersimpan di rumah Bill Palmer, seorang Amerika yang
tinggal di Jakarta dan menjadi distributor film-film Amerika. Rumah Bill
Palmer sering dijadikan bulan-bulanan demonstrasi pemuda dari berbagai
golongan. Para pemuda itu menentang peredaran film porno yang diduga
diedarkan dari rumah Palmer.
Isi dokumen itu saya nilai sangat gawat. Intinya: Andrew Gilchrist
melaporkan kepada atasannya di Kemlu Inggris yang mengarah pada dukungan
Inggris untuk menggulingkan Presiden Soekarno. Di sana ada pembicaraan
Gilchrist dengan seorang kolega Amerikanya tentang persiapan suatu
operasi militer di Indonesia. Saya kutip salah satu paragraf yang
berbunyi demikian: rencana ini cukup dilakukan bersama ’our local army
friends.’
Sungguh gawat. Sebelumnya sudah beredar buku yang berisi rencana Inggris
dan AS untuk menyerang Indonesia. Apalagi, pemerintah Inggris tidak
pernah melontarkan bantahan, padahal sudah mengetahui bahwa dokumen
rahasia itu beredar di Indonesia. Saya selaku kepala BPI mengerahkan
intelijen untuk mencek otentisitas dokumen itu. Hasilnya membuat saya
yakin bahwa Dokumen Gilchrist itu otentik.
Akhirnya dokumen tersebut saya laporkan secara lengkap kepada Presiden
Soekarno. Reaksinya, beliau terkejut. Berkali-kali beliau bertanya
keyakinan saya terhadap keaslian dokumen itu. Dan berkali-kali pula saya
jawab yakin asli. Lantas beliau memanggil para panglima untuk
membahasnya. Dari reaksi Bung Karno saya menyimpulkan bahwa Dokumen
Gilchrist tidak saja mencemaskan, tetapi juga membakar. Bung Karno
sebagai target operasi seperti merasa terbakar. Namun sebagai negarawan
ulung, beliau sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kecemasan.
Menurut penglihatan saya, tentu Bung Karno cemas. Saya menyimpulkan,
Bung Karno sedang terbakar oleh provokasi itu. Terlepas dari
asli-tidaknya dokumen itu, saya menilai bahwa ini adalah alat provokasi
untuk memainkan TNI AD dalam situasi politik Indonesia yang memang tidak
stabil. Saya mengatakan provokasi jika ditinjau dari dua hal. Pertama:
isinya cukup membuat orang yang menjadi sasaran merasa ngeri. Kedua,
dokumen sengaja dibocorkan agar jatuh ke tangan pendukung-pendukung Bung
Karno dan PKI. Bagaimana mungkin dokumen rahasia seperti itu berada di
rumah Palmer yang menjadi bulan-bulanan demo pemuda. Apakah itu bukan
suatu cara provokasi?
16
Saya katakan jika Dokumen Gilchrist sebagai upaya provokasi, maka itu
adalah provokasi pertama. Sedangkan provokasi kedua adalah isu Dewan
Jenderal. Jika diukur dari kebiasaan aktivitas terbuka, maka sumber
utama dua alat provokasi itu memang cukup rumit untuk dipastikan.
Di sisi lain, Soeharto juga bermain dalam isu Dewan Jenderal. Beberapa
waktu sebelum G30S meletus, Yoga diutus oleh Soeharto untuk menemui
Mayjen S Parman guna menyampaikan saran agar Parman berhati-hati karena
isu bakal adanya penculikan terhadap jenderal-jenderal sudah santer
beredar. Namun tidak ada yang tahu siapa yang menyebarkan isu seperti
itu.
Parman tidak terlalu serius menanggapi saran itu, sebab itu hanya isu.
Parman bertanya kepada Yoga: Apakah pak Yoga sudah punya bukti-bukti?
Yang ditanya menjawab: Belum, pak. Lantas Parman menyarankan agar Yoga
mencari bukti. Jangan hanya percaya isu sebelum ada bukti, kata Parman.
Yoga menyanggupi akan mencarikan bukti
Setelah G30S meletus, saya teringat saran Yoga kepada Parman itu. Yoga
adalah anggota Trio Soeharto. Saya kemudian berkesimpulan bahwa
informasi yang disampaikan oleh Yoga kepada Parman itu bertujuan untuk
mengetahui reaksi Parman yang dikenal dekat dengan Yani. Info tersebut
tentu untuk memancing, apakah Parman sudah tahu. Sekaligus - jika
memungkinkan - mengungkap seberapa jauh atisipasi Parman terhadap isu
tersebut. Dan karena Parman adalah teman dekat Yani, reaksi Parman ini
bisa disimpulkan sebagai mewakili persiapan Yani. Dengan reaksi Parman
seperti itu, maka bisa disimpulkan bahwa Parman sama sekali tidak
mengantisipasi arah selanjutnya jika seandainya Dewan Jenderal
benar-benar ada. Parman tidak siap meghadapi kemungkinan yang bakal
terjadi selanjutnya. Ini juga bisa disimpulkan bahwa Yani juga tidak
siap. Jika ini saya kaitkan dengan pertanyaan saya pada Yani soal isu
Dewan Jenderal, maka jelas-jelas bahwa Yani tidak punya persiapan sama
sekali.
Intinya, info dari Yoga kepada Parman berbalas info, sehingga kelompok
Soeharto mendapatkan info bahwa kelompok Yani sama sekali belum siap
mengantisipasi kemungkinan terjadinya penculikan. Lebih jauh, rencana
Soeharto melakukan gerakan dengan memanfaatkan Kolonel Latief dan
memanipulasi kelompok Letkol Untung, belum tercium oleh kelompok lawan:
Kelompok Yani.
Jika seandainya gerakan gagal mencapai tujuan (khususnya bila Parman
tidak berhasil dibunuh), maka peringatan Yoga akan lain maknanya.
Peringatan itu bisa berubah menjadi jasa Soeharto menyelamatkan Parman.
Maka Soeharto tetap tampil sebagai pahlawan. Jadi tindakan Soeharto ini
benar-benar strategis. Peran Amerika Serikat
Apakah AS berperan memlintir isu sakitnya Presiden dan Dewan Jenderal?
Sudah jelas AS takut Indonesia dikuasai oleh komunis. Dan karena Bung
Karno
17
cenderung kiri, maka proyek mereka ada dua: hancurkan PKI dan gulingkan
Bung Karno. Selain tidak suka pada Bung Karno, AS juga punya kepentingan
ekonomis di Indonesia dan secara umum di Asia. Sebagai gambaran:
Malaysia hanya kaya akan karet dan timah; Brunei Darussalam hanya kaya
minyak; sedangkan Indonesia memiliki segalanya di bidang tambang dan
hasil bumi. Terlebih wilayahnya jauh lebih luas dibandingkan dengan
Malaysia dan Brunei. Secara kongkrit bisnis minyak AS di Indonesia
(Caltex) serta beberapa perusahaan lainnya - bagi AS - harus aman.
Karena itu politik Bung Karno dianggap membahayakan kepentingan AS di
Indonesia. Namun mereka kesulitan mengubah sikap Bung Karno yang tegas.
Ada upaya AS untuk membujuk Bung Karno agar mengubah sikap politiknya
tetapi gagal. Secara politis Bung Karno juga sangat kuat. Di dalam
negeri Bung Karno didukung oleh Angkatan Bersenjata dan PKI. Tak kalah
pentingnya, rakyat sungguh kagum dan simpati terhadapnya. Di luar negeri
ia mendapat dukungan dari negara-negara Asia Tenggara dengan politik
Non-Bloknya.
Itulah sebabnya, secara intuitif saya yakin bahwa AS ikut main di dua
isu itu. Soal sakitnya Presiden, target mereka bukan menjebak PKI
melakukan gerakan - sehingga PKI masuk ladang pembantaian - sebab Aidit
tahu persis Presiden hanya masuk angin.
Plintiran isu tersebut lebih untuk konsumsi publik. Jika suatu saat ada
gerakan perebutan kekuasaan, maka akan terlihat wajar bila gerakan itu
dilakukan oleh PKI. Jika Presiden sakit keras, wajar PKI merebut
kekuasaan, karena takut negara akan dikuasai oleh militer. Dan karena
itu, wajar pula jika PKI dihabisi oleh militer. Dewan Jenderal lebih
banyak dimainkan oleh pemain lokal, meskipun AS bisa membantu dengan isu
senjata dari RRT, Angkatan Kelima dan penolakan Yani terhadap Angkatan
Kelima. Tetapi Dokumen Gilchrist jelas ada pemain Amerikanya. Dokumen
itu awalnya disimpan di rumah warga Amerika Bill Palmer. Dokumen
tersebut menurut saya otentik, namun mengapa dibocorkan? Itu semua
secara intiusi. Faktanya: pada pertengahan November 1965 AS mengirim
bantuan obat-obatan dalam jumlah besar ke Indonesia. Bantuan tersebut
mengherankan saya. Indonesia tidak sedang dilanda gempa bumi. Juga tidak
ada bencana atau perang. Yang ada adalah bahwa pada 1 Oktober 1965
terjadi pembantaian enam jenderal dan seorang letnan. Seminggu
sesudahnya, AD di bawah pimpinan Soeharto dan dibantu oleh para pemuda
membantai PKI. Pada saat obat-obatan itu dikirim kira-kira sudah 40 ribu
anggota PKI dan simpatisannya dibantai. Nah, di sinilah pengiriman
obat-obatan itu menjadi janggal. Suatu logika yang sangat aneh jika AS
membantu obat-obatan untuk PKI. Baru beberapa waktu kemudian saya
mendapat laporan bahwa kiriman obat-obatan itu hanya kamuflase; hanya
sebuah selubung untuk menutupi sesuatu yang jauh lebih penting.
Sebenarnya itu adalah kiriman senjata untuk membantu 18
tentara dan pemuda membantai PKI. Sayangnya, pengetahuan saya tentang
hal ini sudah sangat terlambat. Bung Karno sudah menjelang ajal politik.
Paling tidak ini menambah keyakinan saya bahwa AS ikut bermain dalam
rangkaian G30S. Bagi AS, menghancurkan komunis di Indonesia sangat
tinggi nilainya untuk menjamin dominasi AS diAsia Tenggara. Di sisi
lain, reputasi mereka di bidang subversif sudah dibuktikan dengan
tampilnya agen-agen CIA yang berpengalaman menghancurkan musuh di
berbagai negara, walaupun reputasi itu di dalam negeri malah dikecam
habis-habisan oleh rakyat AS sendiri.
Salah satu agen CIA yang andal adalah Marshall Green (Dubes AS untuk
Indonesia). Reputasinya di bidang subversif tak diragukan lagi. Sebelum
bertugas di Indonesia ia adalah Kuasa Usaha AS di Korea Selatan. Di sana
ia sukses menjalankan misi AS membantu pemberontakan militer oleh
Jenderal Park Chung Hee yang kemudian memimpin pemerintahan militer
selama tiga dekade. Di Indonesia ia menggantikan Howard Jones menjelang
meletusnya G30S. Jadi pemain penting asing dalam drama 1 Oktober 1965
itu adalah Green dan Jones. Tentu CIA tidak dapat bekerja sendiri
menghancurkan komunis di Indonesia. Apalagi pada Februari 1965 AS
memulai pemboman pertama di Vietnam Utara. Praktis konsentrasinya -
khusus untuk penghancuran komunis - terbagi. Baik di Indonesia maupun
Vietnam Utara, mereka butuh mitra lokal.
Di Indonesia mereka merekrut Kamaruzaman yang lebih terkenal dengan
panggilan Sjam sebagai spion. Sjam adalah tentara sekaligus orang PKI.
Kedudukan Sjam di PKI sangat strategis yaitu sebagai Ketua Biro Khusus
PKI yang bisa berhubungan langsung dengan Ketua PKI DN Aidit.
Sebaliknya, para perwira kelompok kontra Dewan Jenderal memberi
informasi kepada saya bahwa Sjam sering memimpin rapat intern AD. Tidak
jelas benar, apakah Sjam itu tentara yang disusupkan ke dalam tubuh PKI
atau orang PKI yang disusupkan ke dalam AD. Tetapi jelas ia adalah mitra
lokal CIA. Dan CIA beruntung memiliki mitra lokal yang berdiri di dua
kubu yang berseberangan.
Tetapi permainan Sjam sangat kasar. Ingat pernyataannya bahwa pada
tanggal 12 Agustus 1965 ia mengaku dipanggil oleh Aidit untuk membahas
betapa seriusnya sakit Presiden. Juga Kemungkinan Dewan Jenderal
mengambil tindakan segera jika Presiden meninggal. Itu dikatakan setelah
Aidit dibunuh.
Di pengadilan Sjam mengatakan bahwa perintah menembak para jenderal
datang dari dia sendiri, namun itu atas perintah Aidit yang disampaikan
kepadanya. Inilah satu-satunya pernyataan yang memberatkan Aidit selain
keberadaan Aidit di Halim pada taggal 30 September 1965 malam. Namun
Aidit tidak sempat bicara sebab dia ditembak mati oleh Kolonel Yasir
Hadibroto (kelak dijadikan Gubernur Lampung oleh Soeharto) beberapa hari
setelah G30S di Boyolali, Jateng. Jika Sjam itu seorang tentara, ia
ibarat martil. Keterangannya sangat menguntungkan pihak yang
menghancurkan PKI. Namun setelah bertahun-tahun berstatus tahanan, Sjam
diadili dan dihukum mati. Keberpihakannya kepada PKI, AD dan AS akhirnya
tidak bermanfaat bagi dirinya sendiri.
19
Menjalin Sahabat Lama
Ini adalah bagian yang mengungkap keterlibatan Soeharto dalam G30S. Dia
menjalin hubungan dengan dua sahabat lama - Letkol TNI AD Untung Samsuri
dan Kolonel TNI AD Abdul Latief - beberapa waktu sebelum meletus G30S.
Untung kelak menjadi komandan pasukan yang menculik dan membunuh 7
perwira, sedangkan Latief hanya dituduh terlibat dalam peristiwa itu.
Untung adalah anak buah Soeharto ketika Soeharto masih menjabat sebagai
Panglima Divisi Diponegoro, Jateng. Untung bertubuh agak pendek namun
berjiwa pemberani. Selama beberapa bulan berkumpul dengan saya di
Penjara Cimahi, Bandung, saya tahu persis bahwa Untung tidak menyukai
politik. Ia adalah tipe tentara yang loyal kepada atasannya, sebagaimana
umumnya sikap prajurit sejati. Kepribadiannya polos dan jujur. Ini
terbukti dari fakta bahwa sampai beberapa saat sebelum dieksekusi, dia
masih tetap percaya bahwa vonis hukuman mati terhadap dirinya tidak
mungkin dilaksanakan. Percayalah, pak Ban, vonis buat saya itu hanya
sandiwara, katanya suatu hari pada saya. Kenapa begitu? Karena ia
percaya pada Soeharto yang mendukung tindakannya: membunuh para
jenderal. Soal ini akan dibeberkan di bagian lebih lanjut. Sekitar akhir
1950-an Soeharto dan Untung pisah kesatuan. Namun pada tahun 1962
mereka berkumpul lagi. Mereka dipersatukan oleh tugas merebut Irian
Barat dari tangan Belanda. Saat itu Soeharto adalah Panglima Komando
Mandala, sedangkan Untung adalah anak buah Soeharto yang bertugas di
garis depan. Dalam tugas itulah keberanian Untung tampak menonjol: ia
memimpin kelompok kecil pasukan yang bertempur di hutan belantara
Kaimana. Operasi pembebasan Irian akirnya sukses. Pada tanggal 15
Oktober 1962 Belanda menyerahkan Irian kepada PBB. Lantas pada tanggal 1
Mei 1963 Irian diserahkan oleh PBB ke pangkuan RI. Keberanian Untung di
medan perang sampai ke telinga Presiden. Karena itu Untung dianugerahi
Bintang Penghargaan oleh Presiden Soekarno karena keberaniannya.
Setelah itu Untung dan Soeharto berpisah lagi dalam hubungan garis
komando. Presiden Soekarno menarik Untung menjadi salah satu komandan
Batalyon Kawal Istana, Cakra Bhirawa. Sedangkan Soeharto akhirnya
menjadi Pangkostrad. Namun tugas baru Untung itu membuat Soeharto marah.
Soeharto ingin merekrut Untung masuk ke Kostrad menjadi anak-buahnya,
karena ia tahu bahwa Untung itu pemberani. Tetapi apa mau dikata,
Presiden sudah terlanjur menarik Untung ke dalam pasukan elite kawal
Istana. Soeharto hanya bisa kecewa.
Saat itu konflik Bung Karno dan PKI di satu sisi dengan para pimpinn AD
di sisi lain belum terlalu tajam. Dalam perkembangannya, konflik Bung
Karno dan PKI dengan AD itu semakin memuncak. Konflik itu diikuti oleh
polarisasi kekuatan politik dan militer yang semakin meningkat, sehingga
dapat disimpulkan bahwa sewaktu-waktu konflik bisa mengarah ke suatu
kondisi yang mengkhawatirkan. Sebab Bung Karno adalah pemimpin yang
kharismatik yang didukung oleh rakyat dan sebagian besar perwira
Angkatan Bersenjata, kecuali sebagian kecil perwira AD. Di sisi lain,
PKI - seperti sudah saya sebutkan di muka - saat itu memiliki
20
massa dalam jumlah sangat besar. Bisa dibayangkan apa yang bakal terjadi jika konflik ini semakin tajam.
Nah, saat konflik meningkat itulah justru Soeharto bersyukur bahwa
Untung menjadi salah satu komandan Batalyon Kawal Istana Cakra Bhirawa.
Kedudukan Untung di sana menjadi titik strategis dipandang dari sisi
Soeharto yang menunggu momentum untuk merebut kekuasaan negara. Maka
hubungan Soeharto-Untung kembali membaik, meskipun beberapa waktu
sebelumnya Soeharto sempat marah dan membenci Untung. Bukti membaiknya
hubungan itu adalah bahwa beberapa waktu kemudian, di akhir 1964, Untung
menikah di Kebumen dan Soeharto bersama istrinya, Ny. Soehartinah
(Tien) menghadiri resepsinya di Kebumen.
Seorang komandan menghadiri pernikahan bekas anak-buah adalah hal yang
sangat wajar, memang. Tetapi jarak antara Jakarta-Kebumen tidak dekat.
Apalagi saat itu sarana transportasi dan terutama kondisi jalan sangat
tak memadai. Jika tak benar-benar sangat penting, tidak mungkin Soeharto
bersama istrinya menghadiri pernikahan Untung. Langkah Soeharto
mendekati Untung ini terbaca di kalangan elite politik dan militer saat
itu, tetapi mereka hanya sekadar heran pada perhatian Soeharto terhadap
Untung yang begitu besar.
Di sisi lain, Soeharto juga membina persahabatan lama dengan Kolonel
Abdul Latief yang juga bekas anak-buahnya di Divisi Diponegoro. Latief
adalah juga seorang tentara pemberani. Ia adalah juga seorang yang saya
nilai jujur. Namun, berbeda dengan Untung, Latief mengantongi rahasia
skandal Soeharto dalam Serangan Oemoem 1 Maret 1949 di Yogya. Dalam
serangan itu Belanda diusir dari Yogya (ketika itu ibu-kota RI) hanya
dalam waktu enam jam. Itu sebabnya serangan ini disebut juga Enam jam di
Yogya, yang dalam sejarah disebut sebagai Operasi Janur Kuning karena
saat operasi dilaksanakan semua pasukan yang berjumlah sekitar 2000
personil (termasuk pemuda gerilyawan) diharuskan mengenakan janur kuning
(sobekan daun kelapa) di dada kiri sebagai tanda. Yang tidak mengenakan
tanda khusus ini bisa dianggap sebagai mata-mata Belanda dan tidak
salah jika ditembak mati.
Soeharto (di kemudian hari) mengklaim keberhasilan mengusir Belanda itu
atas keberaniannya. Serangan Oemoem 1 Maret 1949 itu katanya, adalah ide
dia. Soal ini sudah diungkap di berbagai buku, bahwa serangan tersebut
adalah ide Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Soeharto adalah komandan
pelaksana serangan. Namun bagi Latief persoalan ini terlalu tinggi.
Latief hanya merupakan salah satu komandan kompi. Hanya saja karena dia
kenal Soeharto sewaktu masih sama-sama di Kodam Diponegoro, ia dekat
dengan Soeharto. Letief tidak bicara soal ide serangan. Ia hanya bicara
soal teknis pertempuran.
Tentara kita menyerbu kota dari berbagai penjuru mulai pukul 06.00 WIB,
persis saat sirene berbunyi tanda jam malam berakhir. Diserbu mendadak
oleh kekuatan yang begitu besar, Belanda terkejut. Perlawanan mereka
sama sekali tidak berarti bagi pasukan kita. Mereka sudah kalah
strategi, diserang mendadak dari berbagai penjuru kota oleh pasukan yang
jumlahnya demikian banyak. Tangsi-tangsi Belanda banyak yang berhasil
direbut tentara kita. Namun Belanda sempat minta
21
bantuan pasukan dari kota lain. Walaupun bala bantuan pasukan Belanda
datang agak terlambat, namun mereka memiliki persenjataan yang lebih
baik dibanding tentara kita. Mereka juga mengerahkan kendaraan lapis
baja. Pada saat itulah terjadi pertempuran hebat di seantero Yogyakarta.
Pada scope lebih kecil, kelompok pasukan pimpinan Latief kocar-kacir
digempur serangan balik pasukan Belanda. Dalam kondisi seperti itu
Latief memerintahkan pasukannya mundur ke Pangkalan Kuncen sambil tetap
berupaya memberikan tembakan balasan. Setelah di garis belakang, Latief
memeriksa sisa pasukan. Ternyata tinggal 10 orang tentara. Di saat
mundur tadi sekilas diketahui 12 orang terluka dan 2 orang gugur di
tempat. Mereka yang luka terpaksa ditinggal di medan pertempuran,
sehingga kemungkinan besar juga tewas, sedangkan pemuda gerilyawan (juga
di bawah kompi Latief) yang tewas 50 orang.
Nah, saat Latief bersama sisa pasukannya berada di garis belakang itulah
mereka berjumpa Soeharto. Apa yang sedang dilakukan Soeharto? Dia
sedang santai makan soto babat, ujar Latief. Ketika itu perang sedang
berlangsung. Ribuan tentara dan pemuda gerilyawan tengah beradu nasib
menyabung nyawa, merebut tanah yang diduduki oleh penjajah. Toh, Latief
dengan sikap tegap prajurit melapor kepada Soeharto tentang kondisi
pasukannya. Soeharto ternyata juga tidak berbasa-basi misalnya menawari
Latief dan anak-buahnya makan. Sebaliknya Soeharto langsung
memerintahkan Latief bersama sisa pasukannya untuk menggempur belanda
yang ada di sekitar Kuburan Kuncen, tidak jauh dari lokasi mereka.
Belanda akhirnya berhasil diusir dari Yogyakarta dalam tempo enam jam.
Secara keseluruhan dalam pertempuran itu pasukan kita menang, meskipun
dalam scope kecil pasukan pimpinan Latief kocar-kacir. Komandan dari
seluruh pasukan itu adalah Soeharto yang - boleh saja - menepuk dada
membanggakan keberaniannya. Bahkan Soeharto kemudian bertindak jauh
lebih berani lagi dengan mengakui bahwa ide serangan itu dalah idenya
(yang kini terbukti tidak benar). Namun soal Soto babat menjadi skandal
tersendiri bagi figur seorang komandan pasukan tempur di mata Latief.
Dan skandal ini diungkap oleh Latief pada saat dia diadili di Mahkamah
Militer dengan tuduhan terlibat G30S. Kendati begitu, skandal ini tidak
menyebar karena saat itu Soeharto sudah berkuasa. Soeharto sudah menjadi
pihak yang menang dan Latief menjadi pihak yang kalah. Apa pun
informasi dari pihak yang kalah sudah pasti disalahkan oleh pihak yang
menang.
Setelah Serangan Oemoem 1 Maret, Soeharto-Latief pisah kesatuan.
Soeharto akhirnya menjadi Pangkostrad, sementara Latief akhirnya menjadi
Komandan Brigade Infanteri I Jaya Sakti, Kodam Jaya. Posisi Latief
cukup strategis. Maka Soeharto kembali membina hubungan lama dengan
Latief . Jika Untung didatangi oleh Soeharto saat menikah di Kebumen,
Latief juga didatangi di rumahnya oleh Soeharto dan istrinya saat Latief
mengkhitankan anaknya. Saya menilai, Soeharto mendekati Latief dalam
upaya sedia payung sebelum hujan, sebab suatu saat nanti Latief akan
dimanfaatkan oleh Soeharto.
22
Kini cerita lama terulang kembali. Jika dulu Soeharto membentuk trio
bersama Yoga Soegama dan Ali Moertopo, kini bersama Untung dan Latief.
Semuanya teman-teman lama Soeharto ketika masih di Jawa Tengah. Tetapi
trio kali ini (bersama Untung dan Latief) memiliki posisi strategis yang
lebih tinggi dibanding yang dulu: Untung adalah orang dekat Presiden.
Latief adalah orang penting di Kodam Jaya yang menjaga keamanan Jakarta.
Targetnya jelas: menuju ke Istana. Tidak ada orang yang bisa membaca
konspirasi trio tersebut saat itu karena selain trio ini tidak
meledak-ledak, mereka juga tidak berada di posisi tertinggi di jajaran
militer. Namun saya sebagai orang terdekat Bung Karno sudah punya
feeling bahwa persahabatan mereka bisa menggoyang Istana. Paling tidak
mereka bisa memperkuat apa yang sudah dirintis oleh Nasution, yakni:
menciptakan Negara dalam Negara. Sebab konflik antara Bung Karno dan AD
sudah semakin tajam. Selain membentuk trio, Soeharto juga dekat dengan
Brigjen Soepardjo (berasal dari Divisi Siliwangi yang kemudian ditarik
Soeharto ke Kostrad menjabat PangKopur II).
Pertengahan September 1965 suhu politik di Jakarta mulai panas. Karena
hubungan persahabatan - di luar jalur komando - Latief menemui Soeharto.
Inilah pertemuan pemting pertama antara Soeharto dan Latief menjelang
G30S. Saat itu isu dewan Jenderal sudah menyebar. Begitu mereka bertemu,
Latief melaporkan isu tersebut kepada Soeharto. Ternyata Soeharto
menyatakan bahwa ia sudah tahu. Beberapa hari yang lalu saya diberitahu
hal itu oleh seorang teman AD dari Yogya bernama Soebagyo, katanya.
Tidak jelas siapa Soebagyo. Namun menurut Latief, Soebagyo adalah
tentara teman mereka ketika masih sama-sama di Divisi Diponegoro. Pada
saat yang hampir bersamaan, pada 15 September 1965 Untung mendatangi
Soeharto. Untung juga melaporkan adanya Dewan Jenderal yang akan
melakukan kup. Berbeda dengan Latief, Untung menyatakan bahwa ia punya
rencana akan mendahului gerakan Dewan Jenderal dengan menangkap mereka
lebih dulu, sebelum mereka melakukan kudeta. Untung memang merupakan
pembantu setia Bung Karno. Dalam posisinya sebagai salah satu komandan
Pasukan Kawal Istana Cakra Bhirawa, sikapnya sudah benar.
Apa jawab Soeharto? Bagus kalau kamu punya rencana begitu. Sikat saja,
jangan ragu-ragu, kata Soeharto. Malah Soeharto menawarkan bantuan
pasukan kepada Untung: Kalau perlu bantuan pasukan, akan saya bantu,
katanya. Untung gembira mendapat dukungan. Ia menerima tawaran bantuan
tersebut. Dan Soeherto juga tidak main-main: Baik. Dalam waktu
secepatnya akan saya datangkan pasukan dari Jawa Timur dan Jawa Tengah,
katanya.
Harap dicatat: pertemuan Soeharto dengan Latief tidak berkaitan dengan
pertemuan Soeharto dengan Untung. Saya lupa lebih dulu mana, antara
Latief bertemu Soeharto dengan Untung bertemu Soeharto. Yang pasti itu
terjadi di pertengahan bulan September 1965. Pada awalnya hubungan
Soeharto-Untung 23
terpisah dari hubungan Soeharto-Latief dalam hal Dewan Jenderal. Namun
mereka sama-sama dari Kodam Diponegoro. Hubungan Untung-Latief juga
terjalin baik meskipun sudah berpisah kesatuan. Akhirnya mereka tahu
bahwa Soeharto mendukung gerakan menangkap Dewan Jenderal.
Bantuan Soeharto ternyata dibuktikan. Beberapa hari sebelum 1 Oktober
1965, atas perintah Soeharto didatangkan beberapa batalyon pasukan dari
Semarang, Surabaya dan Bandung. Perintahnya berbunyi: Pasukan harus tiba
di Jakarta dengan perlengkapan tempur Siaga-I. Lantas secara bertahap
pasukan tiba di Jakarta sejak 26 September 1965. Jelas, pasukan ini
didatangkan khusus untuk menggempur Dewan Jenderal. Dalam komposisi
pasukan penggempur Dewan Jenderal itu, dua-pertiganya adalah pasukan
Soeharto dari daerah dan Kostrad. Setelah G30S meletus dan Soeharto
balik menggempur pelakunya, lantas ia menuduh gerakan itu didalangi PKI.
Soeharto membuat aneka cerita bohong. Soal kedatangan pasukan dari
Bandung, Semarang dan Surabaya itu dikatakan untuk persiapan upacara
Hari ABRI 5 Oktober. Dari segi logika sudah tidak rasional. Rombongan
pasukan tiba di Jakarta sejak 26 September 1965 dengan persiapan tempur
Siaga-I. Ini jelas tidak masuk akal jika dikaitkan dengan Hari ABRI.
Yang terpenting: dari laporan intelijen yang saya terima dan dikuatkan
dengan cerita Untung pada saya ketika kami sudah sama-sama dipenjara,
pasukan bantuan Soeharto itu dimaksudkan untuk mendukung Untung yang
akan menggempur Dewan Jenderal. Ini sudah dibahas oleh Untung dan
Soeharto.
Pertemuan penting kedua Soeharto-Latief terjadi dua hari menjelang 1
Oktober 1965. Pertemuan dilakukan di rumah Soeharto di Jalan H Agus
Salim. Berdasarkan cerita Latief kepada saya pada saat kami sama-sama
dipenjara, ketika itu ia melaporkan kepada Soeharto bahwa Dewan Jenderal
akan melakukan kudeta terhadap Presiden. Dan Dewan Jenderal akan
diculik oleh Pasukan Cakra Bhirawa. Apa reaksi Soeharto? Dia tidak
bereaksi. Tapi karena saat itu ada tamu lain di rumah pak Harto, maka
kami beralih pembicaraan ke soal lain, soal rumah, kata Latief.
Pertemuan terakhir Soeharto-Latief terjadi persis pada tanggal 30
September 1965 malam hari pukul 23.00 WIB di RSPAD Gatot Subroto. Saat
itu Soeharto menunggu anaknya Hutomo Mandala Putera (Tommy Soeharto)
yang ketumpahan sup panas dan dirawat di sana. Kali ini Latief
melaporkan penculikan para jenderal akan dilaksanakan pukul 04.00 WIB
(sekitar lima jam kemudian). Kali ini juga tidak ditanggapi oleh
Soeharto.
Sebenarnya yang akan melapor kepada Soeharto saat itu tiga orang, yakni
Latief, Brigjen Soepardjo dan Letkol Untung. Sebelum Latief menghadap
Soeharto, Latief lebih dulu bertemu dengan Soepardjo dan Untung.
Soepardjo dan Untung datang ke rumah saya malam itu (30 September 1965)
pada pukul 21.00 WIB. Soepardjo sedang ada urusan, sedangkan Untung
kurang berani bicara pada Soeharto.
24
Soepardjo lantas mengatakan pada saya: Sudahlah Tif (panggilan Latief),
kamu saja yang menghadap. Katakan ke pak Harto, kami sedang ada urusan,
kata Latief menirukan ucapan Soepardjo.
Setelah Latief bertemu Soeharto, ia lantas kembali menemui Soepardjo dan
Untung yang menunggu di suatu tempat. Latief dengan wajah berseri-seri
melaporkan kepada teman-temannya bahwa Soeharto berada di belakang
mereka. Saya ulangi: Pada sekitar pukul 01.00 WIB 1 Oktober 1965, kata
Latief kepada Soepardjo dan Untung: Soeharto berada di belakang mereka.
Beberapa jam kemudian pasukan bergerak mengambil para jenderal.
Ada yang menarik dari pengakuan Soeharto soal pertemuan terakhir dirinya
dengan Latief pada tanggal 30 September 1965 malam di RSPAD Gatot
Subroto itu. Ia bercerita kepada dua pihak: Pertama kepada wartawan
Amerika Serikat bernama Brackman, pada tahun 1968. Saat itu ia ditanya
oleh Brackman mengapa Soeharto tidak termasuk dalam daftar jenderal yang
akan diculik.
Kepada Brackman dikatakan demikian: Memang benar dua hari sebelum 1
Oktober 1965 anak lelaki saya yang berusia 3 tahun (Hutomo Mandala
Putera alias Tommy Soeharto) ketumpahan sup panas. Dia lantas dibawa ke
RSPAD Gatot Subroto. Pada 30 September 1965 banyak kawan-kawan saya
menjenguk anak saya dan saya juga berada di RSPAD. Di antara yang datang
adalah Latief yang menanyakan kondisi anak saya. Saat itu saya sangat
terharu atas keprihatinannya pada anak saya. Tetapi ternyata Latief
adalah orang penting dalam kup yang terjadi. Jadi jelas Latief datang ke
RSPAD bukan untuk menengok anak saya, tetapi untuk mengecek keberadaan
saya. Untuk membuktikan keberadaan saya, benarkah saya di RSPAD Gatot
Subroto? Ternyata Memang begitu adanya: saya di RSPAD Gatot Subroto
hingga tengah malam, lantas pulang ke rumah.
Pada Juni 1970 Soeharto diwawancarai oleh wartawan Der Spiegel, Jerman.
Der Spiegel juga mengajukan pertanyaan yang sama dengan Brackman:
Mengapa Soeharto tidak termasuk dalam daftar perwira AD yang diculik
pada tanggal 1 Oktober 1965?
Soeharto mengatakan kepada Der Spiegel demikian: Latief datang ke RSPAD
pukul 23.00 WIB bersama komplotannya. Tujuannya untuk membunuh saya.
Tetapi itu tidak dilakukan, sebab ia khawatir membunuh saya di tempat
umum. Meletuslah Peristiwa Itu
25
Saat G30S meletus saya tidak berada di Jakarta. Saya melaksanakan tugas
keliling daerah yang disebut Turba (Turun ke bawah). Pada 28 September
1965 saya berangkat ke Medan, Sumatera Utara. Beberapa waktu sebelumnya
saya keliling Jawa Timur dan Indonesia Timur. Saat ke Medan rombongan
saya berangkat bersama rombongan Laksamana Muda Udara Sri Muljono
Herlambang. Misinya adalah mematangkan Kabinet Dwikora. Namun kemudian
kami berpisah. Rombongan Sri Muljono berangkat ke Bengkulu dan Padang,
rombongan saya ke Medan. Pada tanggal 2 Oktober saya ditilpun langsung
oleh Presiden Soekarno dan diberitahu kejadian sehari sebelumnya. Dan
hari itu juga saya diperintahkan untuk segera ke Jakarta. Ada pesan
Presiden agar saya berhati-hati: Awas, Ban, hati-hati. Pesawatmu bisa
ditembak jatuh, pesan Presiden. Tetapi saya tetap kembali ke Jakarta
dengan pesawat. Saya tentu saja sempat was was, sebab yang mengingatkan
saya bukan orang sembarangan. Begitu tiba di Jakarta, saya langsung
menuju Istana Bogor menemui Presiden Soekarno. Beberapa waktu kemudian
saya mengetahui alasan kenapa Bung Karno memperingatkan saya agar saya
hati-hati. Sebabnya adalah saat Sri Muljono menuju ke Jakarta,
pesawatnya ditembaki di kawasan Tebet sehingga pesawat berputar-putar
mencari tempat landasan. Akhirnya pesawat mendarat secara darurat di
dekat Bogor. Saat saya tiba di Bogor, suasana sudah jauh berubah
dibanding sebelum saya berangkat ke Medan. Wajah Bung Karno tampak
tegang. Leimena dan Chaerul Saleh sedang mendiskusikan berbagai hal.
Saya mendapat laporan bahwa pada saat itu Bung Karno sudah berada dalam
tawanan Soeharto. Bung Karno tidak diperbolehkan meninggalkan Istana
Bogor.
Sehari sebelumnya, peristiwa hebat terjadi di Jakarta. Tujuh perwira AD
diculik yang kemudian dibunuh pada dini hari. Saya mendapat laporan dari
para kolega dan para intel anak buah saya di BPI. Sampai berhari-hari
kemudian saya terus mengumpulkan informasi dari para kolega dan
anak-buah saya. Rangkaian informasi yang saya terima tentang kejadian
seputar 30 September 1965 hingga pembunuhan para jenderal itu sebagian
saya catat, sebagian tidak. Saya masih ingat hampir seluruhnya. Semua
informasi yang saya terima, termasuk berbagai gejala yang sudah saya
ketahui sebelumnuya, dapat saya ungkapkan di sini. Namun paparan saya
akan terasa kurang menimbulkan kenangan yang kuat jika tidak
dibandingkan dengan sejarah versi Orde Baru. Itu sebabnya, di beberapa
bagian saya kutip sebagian cerita versi Soeharto sebagai pembanding.
Pada tanggal 29 September 1965 pagi hari, Panglima AU Oemar Dhani
melaporkan kepada Presiden Soekarno tentang banyaknya pasukan yang
datang dari daerah ke Jakarta. Beberapa waktu sebelumnya, saya
melaporkan kepada Bung Karno adaya sekelompok perwira AD yang tidak puas
terhadap Presiden - yang menamakan diri Dewan Jenderal - termasuk
bocoran rencana Dewan Jenderal membentuk kabinet. Saya juga melapor
tentang Dokumen Gilchrist. Semua laporan bertumpuk menjadi satu di benak
Bung Karno. Dengan akumulasi aneka laporan 26
yang mengarah pada suatu peristiwa besar itu, saya yakin Bung Karno masih bertanya-tanya, apa gerangan yang bakal terjadi.
Menurut pengakuan Soeharto, menjelang dini hari 1 Oktober 1965 ia
meninggalkan anaknya di RSPAD Gatot Subroto dan pulang ke rumahnya di
Jalan H Agus Salim. Menurutnya, saat meninggalkan RSPAD itu ia sendirian
(tanpa pengawal) dengan mengendarai jeep Toyota. Dari RSPAD mobilnya
melewati depan Makostrad, lantas masuk ke Jalan Merdeka Timur. Ia
mengaku di sana sempat merasakan suasana yang tidak biasa. Di sekitar
Jalan Merdeka Timur berkumpul banyak pasukan, tetapi Soeharto terus
berlalu dan tidak menghiraukan puluhan pasukan yang berkumpul di Monas.
Setelah itu Soeharto mengaku pulang ke rumah dan tidur (ini dikatakan
Soeharto di beberapa kesempatan terbuka). Lantas pagi harinya pukul
05.30 WIB dia mengaku dibangunkan oleh seorang tetangganya dan
diberitahu bahwa baru saja terjadi penculikan terhadap para jenderal.
Setelah itu saya langsung menuju ke markas Kostrad, kata Soeharto.
Pengakuan Soeharto itu luar biasa aneh:
1.
Di saat Jakarta dalam kondisi sangat tegang ia menyetir mobil sendirian,
tanpa pengawal. Jangankan dalam situasi seperti itu, dalam kondisi
biasa saja ia selalu dikawal.
2.
Ia melewati Jalan Merdeka Timur dan mengaku melihat puluhan prajurit
berkumpul dan merasakan sesuatu yang tidak biasa, tetapi tidak dia
hiraukan. Sebagai seorang komandan pasukan, tidakkah dia ingin tahu apa
yang akan dilakukan oleh puluhan prajurit yang berkumpul pada tengah
malam seperti itu?
3.
Pada pagi hari 1 Oktober 1965 pukul 05.30 WIB siapa yang bisa mengetahui
bahwa baru saja terjadi penculikan terhadap para jenderal? Saat itu
belum ada berita televisi seperti sekarang (semisal Liputan 6 Pagi SCTV)
yang dengan cepat bisa memberitakan suatu kejadian beberapa jam
sebelumnya. Radio RRI saja baru memberitakan peristiwa itu pada pukul
07.00 WIB.
Yang sebenarnya terjadi:
Soeharto sudah tahu bahwa pasukan yang berkumpul di dekat Monas itu akan
bergerak mengambil para anggota Dewan Jenderal. Toh dia sendiri yang
mendatangkan sebagian besar (kira-kira dua-pertiga) pasukan tersebut
dari Surabaya, Semarang dan Bandung. Ingat: Soeharto menawarkan bantuan
pasukan yang diterima dengan senang hati oleh Untung.
Pasukan dari daerah dengan perlengkapan tempur Siaga-I itu bergabung
dengan Pasukan Kawal Istana Cakra Bhirawa pimpinan Untung. Mereka
berkumpul di dekat Monas. Selain itu, beberapa jam sebelumnya Soeharto
menerima laporan
27
dari Latief bahwa pasukan sudah dalam keadaan siap mengambil para
jenderal. Maka wajar saja tengah malam itu Soeharto mengendarai jeep
sendirian, meskipun Jakarta dalam kondisi sangat tegang. Malah ia dengan
tenangnya melewati tempat berkumpulnya pasukan yang beberapa saat lagi
berangkat membunuh para jenderal. Bagi Soeharto tidak ada yang perlu
ditakutkan.
Ia justru melakukan kesalahan fatal dengan mengatakan kepada publik
bahwa ia sempat melihat sekelompok pasukan berkumpul di dekat Monas dan
ia membiarkan saja. Jika ia memposisikan diri sebagai orang yang tidak
tahu rencana pembunuhan para jenderal, mestinya ia tidak menyatakan
seperti itu dalam buku biografinya dan di berbagai kesempatan terbuka.
Dengan pernyataannya membiarkan pasukan bergerombol di dekat Monas, bisa
menyeret dirinya dalam kesulitan besar. Masak seorang Panglima Kostrad
membiarkan sekelompok pasukan bergerombol di dekat Monas pada tengah
malam, padahal dia melihatnya sendiri. Yang sebenarnya terjadi adalah
bahwa tengah malam itu ia tidak pulang ke rumah seperti ditulis dalam
buku biografinya. Yang benar: setelah melewati Jalan Merdeka Timur dan
melihat persiapan sekumpulan pasukan, ia lantas menuju ke Markas
Kostrad. Di Makostrad ia memberi pengarahan kepada sejumlah pasukan
bayangan dan operasi Kostrad yang mendukung gerakan pengambilan para
jenderal. Dengan kronologi yang sebenarnya ini, maka seharusnya tidak
perlu ada cerita Soeharto pulang ke rumah lantas tidur.
Dengan pengakuannya itu Soeharto rupanya ingin menunjukkan seolah-olah
ia jujur dengan mengatakan bahwa pada dini hari 1 Oktober 1965 ia memang
berada di Makostrad. Tapi prosesnya dari RSPAD, pulang dulu, lantas
tidur, dibangunkan tetangga dan diberitahu ada penculikan pukul 05.30
WIB, baru kemudian berangkat ke Makostrad.
Kalau Soeharto memposisikan diri sebagai orang yang tidak bersalah dalam
G30S, maka pengakuannya itu merupakan kesalahan yang sangat fatal.
Sebab tidak mungkin ada orang yang tinggal di Jalan H Agus Salim
(tetangga Soeharto) mengetahui ada penculikan para jenderal dan
membangunkan tidur Soeharto pada pukul 05.30 WIB. Padahal penculikan dan
pembunuhan para jenderal baru terjadi beberapa menit sebelumnya,
sekitar pukul 04.00 WIB.
Satu pertanyaan sangat penting dari tragedi pagi buta 1 Oktober 1965
adalah mengapa para jenderal itu tidak dihadapkan kepada Presiden
Soekarno. Logikanya jika anggota Dewan Jenderal diisukan akan melakukan
kudeta, mestinya dihadapkan ke Presiden Soekarno untuk diminta
penjelasannya tentang isu rencana kudeta. Masalahnya tentu bakal menjadi
lain jika para jenderal tidak dibunuh, tetapi diajukan kepada Presiden
untuk konfirmasi.
28
Namun G30S sebagai suatu kekuatan sebenarnya sudah ditentukan jauh
sebelum peristiwanya meletus. Dari perspektif Soeharto, masa hidup
gerakan ini tidak ditentukan oleh kekuatannya melainkan oleh masa
kegunaannya. Setelah para jenderal dibantai, maka habislah masa kegunaan
G30S. Dan sejak itu pula masa hidupnya harus diakhiri. Meskipun Untung,
Latief dan Soepardjo berupaya ingin mempertahankan kelanggengan G30S,
tetapi umurnya hanya beberapa jam saja. Setelah itu pelakunya diburu dan
dihabisi. Soeharto dengan melikuidasi G30S menimbulkan kesan bahwa ia
setia kepada atasannya, Yani dan teman-teman jenderal yang dibunuh. Ia
tampil sebagai pahlawan.
Soal Mengapa Dewan Jenderal diculik, bukan dihadapkan ke Presiden, ada
pengakuan dari salah satu pelaku penculikan. Menurut Serma Boengkoes
(Komandan Peleton Kompi C Batalyon Kawal Kehormatan) yang memimpin
prajurit penjemput Mayjen MT Haryono, di militer tidak ada perintah
culik. Yang ada adalah tangkap atau hancurkan. Perintah yang saya terima
dari Komandan Resimen Cakra Bhirawa Tawur dan Komandan Batalyon Untung
adalah tangkap para jenderal itu, kata Boengkoes setelah ia bebas dari
hukuman.
Namun MT Haryono terpaksa dibunuh sebab rombongan pasukan tidak
diperbolehkan masuk rumah oleh istri MT Haryono. Sang istri curiga,
suaminya dipanggil Presiden kok dini hari. Karena itu pintu rumah
tersebut didobrak dan MT Haryono tertembak. Tidak jelas apakah Haryono
langsung tewas di tempat atau dibunuh kemudian setelah semua jenderal
dikumpulkan di Pondok Gede (Lubang Buaya).
Sedangkan saat dijemput oleh sejumlah pasukan di rumahnya, Letjen A Yani
terkejut. Bukan karena penjemputnya pasukan berseragam loreng, tetapi
karena pada hari itu ia memang dijadwalkan untuk menghadap Presiden
Soekarno di Istana Merdeka, pada pukul 08.00 WIB. Presiden sedianya akan
bertanya kepada Yani soal Angkatan Kelima. Yani menolak ide Presiden
tentang Angkatan Kelima sejak beberapa waktu sebelumnya. Malah sudah
beredar isu bahwa Yani akan digantikan oleh wakilnya yaitu Gatot
Subroto.
Dengan dijemput tentara dini hari mungkin Yani merasa pertemuan dengan
Presiden Soekarno diajukan beberapa jam. Ia dibangunkan dari tidurnya
oleh istrinya dan masih mengenakan piyama. Meskipun kedatangan tentara
penjemputnya menimbulkan kegaduhan di keluarga Yani yang terkejut, namun
Yani menurut. Ia menyatakan kepada penjemputnya akan ganti pakaian.
Tetapi ketika tentara penjemputnya menyatakan Tidak perlu ganti baju,
jenderal, maka seketika Yani menempeleng tentara tersebut. Perkataan
prajurit seperti itu terhadap jenderal memang sudah luar biasa tidak
sopan. Lantas Yani masuk ke kamar untuk ganti pakaian. Yani diberondong
tembakan.
Untuk penculikan para jenderal yang lain mungkin cerita saya mirip dengan yang
29
sudah banyak ditulis di berbagai buku, baik versi Orde Baru maupun buku
yang terbit setelah Soeharto tumbang. Kurang lebih mirip seperti itu
sehingga tidak perlu saya ceritakan lagi.
Yang penting, peristiwa berdarah di pagi buta pada tanggal 1 Oktober
1965 (G30S) itu sampai kini masih ditafsirkan secara berbeda-beda, baik
di dalam maupun di luar negeri. Tetapi jelas substansi peristiwa itu
tidak seperti mitos yang dibuat AD yakni percobaan kudeta yang didalangi
oleh PKI. Versi AD ini sama sekali tidak benar. Peristiwa itu merupakan
provokasi yang didalangi oleh jenderal-jenderal fasis AD didukung
dengan baik oleh imperialisme internasional.
Peristiwa itu adalah provokasi yang dimanipulasi secara licik dan
efektif serta dikelola secara maksimal oleh seorang fasis berbaju
kehalusan feodal Jawa yang haus kekuasaan dan harta. Dialah Panglima
Kostrad Mayjen Soeharto.
Pada sisi intern, peristiwa itu bukan hanya merupakan puncak manifestasi
konflik antara pimpinan AD dan PKI, tetapi juga pertentangan antara
pemimpin politik konservatif dengan aspirasi kapitalisme yang
pembangunannya bergantung pada imperialisme internasional di satu fihak,
melawan PKI dengan prinsip politik anti-imperialisme dengan aspirasi
negara yang merdeka penuh dan demokrasi berkeadilan sosial di pihak
lain.
Peristiwa itu adalah puncak kemunafikan para pemimpin politik konsevatif
yang mengklaim sebagai paling demokrat dari sistim demokrasi
parlementer. Mereka berhadapan dengan kemajuan-kemajuan pesat PKI yang
dicapai secara damai dalam sistim demokrasi liberal. Dari konflik
tersebut para pimpinan AD dan sekutunya lantas mencabut hak hidup PKI
dengan cara mambantai anggota dan keluarganya, lantas membubarkan PKI.
Dari kacamata internasional - terutama disebarkan oleh mantan Dubes AS
untuk Indonesia Howard Jones - peristiwa itu adalah spontan kekejian
rakyat yakni penyembelihan rakyat yang dilakukan PKI. Sebaliknya ini
adalah bagian dari intrik berdarah yang direncanakan secara seksama di
Mabes Kostrad pimpinan Soeharto. Dari Detik Ke Detik
Pagi 1 Oktober 1965 Bung Karno berada di Halim. Malam harinya ia
menginap di rumah istri Dewi Soekarno di Slipi (Wisma Yaso). Pagi-pagi
setelah mendapat kabar mengenai penculikan para jenderal, ia berangkat
bersama ajudan Parto menuju Istana negara, namun menjelang sampai
Istana, jalanan diblokade oleh tentara. Menurut ajudan, pasukan tersebut
tidak dikenal, karena memang tidak ada jadwal blokade jalan menuju
Istana.
30
Dalam waktu cepat Parto mengambil inisiatif dengan tidak meneruskan
perjalanan ke Istana. Mungkin ia menangkap firasat bahaya jika Presiden
ke Istana. Lantas Parto mengusulkan Sebaiknya ke Halim saja, pak. Kalau
ada apa-apa dari Halim akan dengan cepat terbang ke tempat lain,
katanya. Bung Karno menurut saja. Dalam protokoler pengamanan presiden,
jika pasukan pengaman merasa presiden dalam bahaya, maka tujuan utama
adalah lapangan terbang. Dengan begitu presiden bisa diterbangkan ke
mana saja secara cepat. Itu asal-muasal presiden berada di Halim.
Mungkin Parto (juga Bung Karno) tidak tahu bahwa para jenderal diculik
dan dibawa ke Halim. Sesampainya ke Halim pun Bung Karno belum tahu apa
yang sesungguhnya terjadi. Baru setelah beberapa saat di Halim, beliau
diberitahu oleh para pengawal. Beberapa saat kemudian ia menerima
laporan dari Brigjen Soepardjo.
Aidit pagi itu juga berada di Halim. Inilah keanehannya: para tokoh
sangat penting berkumpul di Halim. Kalau Oemar Dhani berada di sana, itu
masih wajar karena ia adalah pimpinan AURI. Tetapi keberadaan Aidit di
sana sungguh mengherankan. Bung Karno dan Oemar Dhani berada di satu
tempat, sedangkan Aidit berada di tempat lain sekitar Halim. Setelah
Bung karno terbang ke Istana Bogor (prosesnya dirinci di bagian lebih
lanjut), Aidit terbang ke Jawa Tengah. Beberapa hari kemudian Aidit
ditembak mati oleh Kolonel Yasir Hadibroto di Brebes, Jawa Tengah.
Menurut kabar resmi Aidit ditembak karena saat ditangkap ia melawan.
Tetapi menurut laporan intelijen kami Aidit sama sekali tidak melawan.
Soeharto memang memerintahkan tentara untuk menghabisi Aidit, katanya.
Dengan begitu Aidit tidak dapat bicara yang sebenarnya.
Saya lebih percaya pada laporan intelijen kami, sebab istri Aidit
kemudian cerita bahwa pada tanggal 30 September 1965 malam hari ia
kedatangan tamu beberapa orang tentara. Para tamu itu memaksa Aidit
meninggalkan rumah. Suami saya diculik tentara, ujarnya. Setelah itu
Aidit tidak pernah pulang lagi sampai ia ditembak mati di Brebes.
Hanya beberapa jam setelah para jenderal dibunuh sekitar pukul 11.00
WIB, 1 Oktober 1965, Presiden Soekarno dari pangkalan udara Halim
mengeluarkan instruksi yang disampaikan melalui radiogram ke markas
Besar ABRI. Saat itu Bung Karno hanya menerima informasi bahwa beberapa
jenderal baru saja diculik. Belum ada informasi mengenai nasib para
jenderal, meskipun sebenarnya para jenderal sudah dibunuh.
Inti instruksi Bung Karno adalah bahwa semua pihak diminta tenang. Semua
pasukan harap stand-by di posisinya masing-masing. Semua pasukan hanya
boleh bergerak atas perintah saya selaku Presiden dan Panglima Tertinggi
ABRI. Semua 31
persoalan akan diselesaikan pemerintah/Presiden. Hindari pertumpahan darah. Demikian antara lain isi instruksi Presiden.
Instruksi itu ditafsirkan Soeharto bahwa Untung dan kawan-kawan sudah
kalah, karena gerakan menculik dan membunuh para jenderal tidak didukung
oleh Presiden. Instruksi lantas disambut Soeharto dengan memerintahkan
anak-buahnya menangkap Untung dan kawan-kawan.
Jelas ini membingungkan Untung. Ia sudah melapor ke Soeharto soal Dewan
Jenderal yang akan melakukan kup terhadap Presiden Soekarno. Untung juga
mengutarakan niatnya untuk mendahului gerakan Dewan Jenderal dengan
cara menangkap mereka lebih dulu. Semua ini didukung oleh Soeharto.
Bahkan Soeharto malah memberi bantuan pasukan. Setelah anggota dewan
Jenderal dibunuh, Soeharto malah menyuruh Untung ditangkap.
Mengenai soal ini saya ingat cerita Untung kepada saya saat kami
sama-sama dipenjara di Cimahi. Untung dengan yakin mengatakan bahwa ia
tidak akan dieksekusi meskipun pengadilan sudah menjatuhkan hukuman
mati. Sebab Soeharto yang mendukung saya menghantam Dewan Jenderal.
Malah kami didukung pasukan Soeharto yang didatangkan dari daerah,
katanya. Teman-teman sesama narapidana politik juga tahu bahwa Untung
adalah anak emas Soeharto. Tapi akhirnya Untung dihukum mati dan
benar-benar dieksekusi. Hampir bersamaan dengan keluarnya instruksi
Presiden --mungkin hanya selisih beberapa menit kemudian - Soeharto
memanggil ajudan Bung Karno, Bambang Widjanarko yang berada di Halim
agar menghadap Soeharto di Makostrad. Ini mungkin hampir bersamaan
waktunya dengan perintah Soeharto agar Untung dan kawan-kawan ditangkap.
Di Makostrad Bambang Widjanarko diberitahu Soeharto agar Presiden
Soekarno dibawa pergi dari Pangkalan Halim sebab pasukan dari Kostrad di
bawah pimpinan Sarwo Edhi Wibowo sudah disiapkan untuk menyerbu Halim.
Saat Bambang menyampaikan pesan Soeharto itu, Bung Karno geram sekaligus
bingung. Instruksi agar semua pasukan stand-by di tempat masing-masing
tidak ditaati Soeharto. Sebaliknya Soeharto malah memerintahkan agar
Bung karno menyingkir dari Halim. Jika Bung Karno bertahan di Halim,
tentu akan sangat berisiko. Sebaliknya kalau Bung Karno meninggalkan
Halim, berarti ia patuh pada perintah Soeharto.
Bung Karno lantas minta nasihat para pembantu militernya. Brigjen
Soepardjo mengusulkan agar Bung Karno terbang ke Bali. Sedangkan Menteri
Panglima Angkatan Udara Oemar Dhani mengusulkan agar Bung Karno pergi
ke Madiun, Jawa Timur. Wakil Perdana Menteri-II Leimena mengatakan Bung
Karno harus 32
berhati-hati. Dan langkah paling hati-hati adalah jika Bung Karno berangkat ke Istana Bogor.
Dari berbagai nasihat itu Bung Karno menyimpulkan bahwa kondisi memang
gawat dan ia harus meninggalkan Halim. Akhirnya Bung Karno memutuskan
untuk menuju ke istana Bogor - menuruti nasihat Leimena - dengan jalan
darat. Menjelang petang rombongan Bung Karno tiba di Istana Bogor.
Ternyata benar. Gempuran pasukan Kostrad ke Halim dilaksanakan menjelang
fajar. Penggempuran itu saya nilai sudah tidak tertuju kepada pelaku
G30S, sebab - seperti saya sebutkan terdahulu - sekitar dua-pertiga
pasukan pelaksanaan G30S adalah orang-orangnya Soeharto. Jadi
penggempuran itu hanya merupakan tekanan psikologis terhadap Bung Karno
yang saat itu benar-benar bingung. Seumur hidupnya belum pernah Bung
karno ditekan tentara seperti saat itu. Sekitar pukul 14.00 WIB - masih
pada 1 Oktober 1965 - kepada Kapten Kuntjoro (ajudan Komandan Cakra
bhirawa Letkol Marokeh) Soeharto menyatakan bahwa ia adalah anggota
Dewan Jenderal. Saat itu pembunuhan terhadap para jenderal sudah
selesai. Nasution yang lolos dari target penculikan sedang diamankan di
Markas Kostrad. Saya berkesimpulan Soeharto berani mengatakan bahwa
dirinya adalah anggota Dewan Jenderal setelah ia yakin bahwa posisinya
aman, sehingga tidak perlu lagi menutupi wajahnya. Kepada Kapten
Kuntjoro Soeharto mengatakan: Dewan Jenderal memang ada. Saya termasuk
anggotanya. Tapi itu dewan untuk mengurus kepangkatan, bukan untuk
kudeta.
Pernyataan Soeharto ini menunjukkan betapa Soeharto berdiri di dua sisi.
Ketika Untung menyatakan akan menghabisi Dewan Jenderal, Soeharto
mendukung, bahkan membantu pasukan. Setelah Dewan Jenderal dihabisi ia
menyatakan bahwa ia adalah anggota Dewan Jenderal. Pernyataan tersebut
mengingatkan saya pada tindakan Soeharto ikut dalam kudeta 3 Juli 1946.
Soeharto berdiri di dua sisi. Hanya saja kudeta 3 Juli 1946 adalah
kudeta yang gagal, sedangkan G30S adalah awal suatu kudeta merangkak
yang berhasil. Dalam kudeta yang disebut terakhir ini, Soeharto
memperoleh dua manfaat: ia tampil sebagai pahlawan dan akhirnya merebut
kepemimpinan nasional. Dalam kudeta 3 Juli 1946 Soeharto hanya mendapat
predikat pahlawan karena menggempur komplotan penculik Perdana Menteri
Sjahrir.
Namun pada hari itu (Jumat 1 Oktober 1965) kondisi negara benar-benar
tidak menentu. Berbagai pihak saling memanfaatkan situasi. Pengumuman
pertama tentang penculikan para jenderal melalui RRI disiarkan oleh
Untung. Intinya diumumkan bahwa kelompok Dewan Jenderal yang akan
melakukan kudeta sudah digagalkan. Anggota Dewan Jenderal sudah diculik
dan Presiden Soekarno dalam keadaan aman. Untuk sementara pemerintahan
dikendalikan oleh Dewan Revolusi. Maka diumumkan anggota Dewan Revolusi.
Di sana tidak ada nama 33
Soekarno. Pengumuman demi pengumuman terus berkumandang di radio.
Setelah Untung beberapa kali menyampaikan pengumuman, lalu disusul oleh
Oemar Dhani. Masyarakat bingung. Sekitar pukul 21.00 WIB Soeharto
berpidato di radio dan mengumumkan bahwa pagi hari itu telah terjadi
penculikan terhadap sejumlah perwira tinggi oleh kelompok pimpinan
Untung. Tindakan tersebut adalah kudeta kontra-revolusioner melawan
Presiden Soekarno. Juga diumumkan bahwa Soeharto mengambil kendali AD
(Menpangad) karena Menpangad A Yani diculik. Perubahan demi perubahan
dalam sehari itu benar-benar membingungkan Bung Karno. Ia tidak tahu apa
yang sesungguhnya terjadi. Ia tidak tahu siapa sedang berperang melawan
siapa, karena ia tidak tahu rencana penculikan Dewan Jenderal. Bung
Karno juga heran dengan pengumuman Soeharto mengambil-alih kendali AD.
Padahal beberapa jam sebelumnya (siang hari) Bung Karno sudah memutuskan
untuk mengambil-alih fungsi dan tugas-tugas Menpangad serta menunjuk
Mayjen Pranoto Rekso sebagai pelaksana sehari-hari (care-taker)
Menpangad. Esoknya, 2 Oktober 1965 Soeharto didampingi oleh Yoga Soegama
dan anggota kelompok bayangannya mendatangi Bung Karno di Istana Bogor.
Soeharto bersama rombongan mengenakan pakaian loreng dan bersenjata
masuk Istana. Dalam kondisi biasa, hanya pasukan pengawal presiden yang
boleh membawa senjata masuk ke dalam Istana. Namun barangkali karena
kondisi saat itu berbeda dengan kondisi biasa, mereka diperbolehkan
masuk dengan bersenjata. Kedatangan Soeharto ini tidak pernah disebut
dalam buku-buku sejarah atau buku kesaksian pelaku sejarah.
Bung Karno menerima mereka. Intinya, Soeharto menyatakan tidak setuju
terhadap pengangkatan Mayjen Pranoto untuk memegang pelaksana komando
AD. Selain protes, Soeharto juga meminta agar Bung Karno memberikan
kuasa kepada Soeharto untuk memulihkan keamanan. Juga meminta Presiden
mengambil tindakan terhadap pimpinan AU yang diduga terlibat dalam G30S.
Karena persoalan cukup rumit Bung Karno menunda pembicaraan dan
memanggil para panglima AU, AL, Kepolisian, Mayjen Pranoto dan Mayjen
Mursid. Setelah mereka berkumpul baru diadakan rapat bersama Soeharto
untuk membahas semua tuntutan Soeharto itu. Rapat berlangsung alot
sekitar lima jam. Akhirnya Bung Karno memberi surat kuasa kepada
Soeharto untuk memulihkan keamanan (sebagai Panglima Pemulihan
Keamanan).
Inilah awal Soeharto memetik kemenangan dari rangkaian proses kudeta
merangkak itu. Surat kuasa yang diterima oleh Soeharto saat itu juga
merupakan surat kuasa pertama. Namun ini tidak pernah disebut dalam
sejarah. Mungin kalau disebut dalam sejarah akan terasa aneh. Presiden
adalah Panglima Tertinggi ABRI yang pegang kendali militer. Pembunuhan
para jenderal baru terjadi sehari
34
sebelumnya. Itu pun beberapa jam kemudian Presiden sudah mengeluarkan
instruksi untuk ABRI. Ini menunjukkan bahwa Presiden masih memegang
kendali militer. Bahkan Presiden sudah mengambil-alih tugas Menpangad
karena Menpangad Yani diculik. Maka kedatangan Soeharto minta surat
kuasa untuk memulihkan keamanan, apa namanya kalau bukan memotong
kewenangan Presiden? Namun toh akhirnya surat kuasa dikeluarkan oleh
Presiden. Menurut memori Yoga, proses keluarnya surat kuasa itu sangat
alot. Dalam rapat Soeharto menekan Soekarno. Tetapi kalau kita kembali
mengingat bahwa sehari sbelumnya Soeharto melalui RRI sudah menyatakan
mengambil-alih pimpinan AD, maka wajar bahwa surat kuasa itu
dikeluarkan. Sebelum surat kuasa dikeluarkan saja Soeharto sudah berani
mengambil-alih pimpinan AD.
Sebelum Soeharto dan kelompok bayangannya meninggalkan Istana Bogor,
Soeharto menyatakan agar Presiden tidak meninggalkan Istana Bogor demi
keamanan. Sejak itu Presiden Soekarno sudah menjadi tawanan Soeharto.
Setelah para pembantu dekat Bung Karno sadar bahwa Bung Karno menjadi
tawanan Soeharto, para pembantu jadi teringat bahwa saran menuju Istana
Bogor itu datang dari Leimena. Bukankah brigjen Soepardjo menyarankan
Bung Karno untuk pergi ke Bali? Menpangau Oemar Dhani menyarankan ke
Madiun, Jawa Timur? Leimena menyarankan - yang paling hati-hati - ke
Istana Bogor. Di kalangan orang dekat Bung Karno muncul pembicaraan,
seandainya Bung Karno menuruti saran Soepardjo atau Oemar Dhani, tentu
akan lain ceritanya. Saya sangat yakin Leimena benar-benar tidak punya
maksud tertentu, apalagi menjerumuskan Bung Karno. Beliau adalah orang
yang loyal terhadap Bung Karno. Sarannya ke Istana Bogor memang langkah
hati-hati. Selain karena jaraknya lebih dekat (dibanding Bali atau
Madiun) istana bogor memang tempatnya presiden atau termasuk simbol
negara. Siapa sangka Soeharto berani mendatangi Bung Karno, bahkan
menawan Bung Karno di sana?
Namun karena pembicaraan beredar menyesalkan saran Leimena, esok harinya
Leimena mendatangi Soeharto di Makostrad. Tujuannya mengingatkan
Soeharto agar jangan bersikap begitu keras terhadap Presiden. Leimena
berkata kepada Soeharto: jangan begitu, dong. Tetapi apa jawaban
Soeharto? Pak Leimena jangan ikut campur. Pak Leimena urusi tugasnya
sendiri. Saya yang kuasa sekarang. Mendengar itu Leimena mundur.
Tidak berapa lama kemudian (masih hari itu juga) ganti Waperdam-III
Chaerul Saleh mendatangi Soeharto. Maksudnya juga sama dengan Leimena.
Jawaban Soeharto juga sama seperti yang tadi: Saya yang kuasa sekarang.
Pak Chaerul Saleh jangan ikut campur, kata Soeharto.
35
Hebatnya, beberapa waktu kemudian Soeharto membantah menerima surat
kuasa dari Presiden. Dia menyatakan kurang lebih demikian: Dalam
kehidupan militer tidak mungkin ada dua panglima (dia dan Mayjen Pranoto
yang sudah ditunjuk oleh Presiden menjadi caretaker Menpangad) yang
ditunjuk dalam waktu bersamaan. Maka praktis pengangkatan terhadap
mayjen Pranoto sebagai caretaker Menpangad tidak berjalan sama sekali.
Sebaliknya Soeharto sebagai Panglima Pemulihan Keamanan dan Ketertiban
terus bertindak, sehingga pergolakan di kalangan elite politik pun tidak
dapat dicegah.
Inilah awal kudeta terselubung itu. Sejak itu sebenarnya Bung Karno sudah tidak lagi memiliki power untuk memimpin negara.
Esoknya pembantaian terhadap anggota PKI dan keluarganya dimulai. PKI
dituduh menjadi dalang G30S. Sejak itu Indonesia banjir darah. Yang
digempur bukan hanya tokoh-tokoh PKI, tetapi semua yang berbau PKI
dibantai tanpa proses hukum. Di kota, desa, dusun, di berbagai sudut
negeri dilakukan pembantaian besar-besaran, suatu tindakan yang sangat
mengerikan. Pembantaian PKI dimulai beberapa saat setelah Presiden
Soekarno mengumumkan (3 Oktober 1965) Pangkostrad Mayjen Soeharto
dipercaya sebagai pelaksana Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan
Ketertiban (Kopkamtib). Tidak disangka jika lembaga yudisial ini kelak
menjadi sangat ditakuti rakyat. Hanya dengan menyebut Kopkamtib saja
orang sudah ngeri. Beberapa tahun berikutnya namanya diganti menjadi
Bakorstanas, namun tetap saja nama yang menakutkan bagi masyarakat.
Semua tindakan masyarakat yang tidak sesuai dengan keinginan Soeharto
pasti ditumpas oleh Kopkamtib yang kemudian berubah nama menjadi
Bakorstanas atau Bakorstanasda di daerah. Lembaga ini menjadi senjata
Soeharto untuk menumpas orang-orang yang tidak setuju pada keinginannya.
Perkembangan ini tentu di luar dugaan Bung Karno selaku pemberi kuasa.
Pada tanggal 16 Oktober 1965 Presiden Soekarno mengangkat Soeharto
menjadi Menpangad, menggantikan A Yani. Lantas pada akhir Oktober 1965
di rumah Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan Brigjen Syarif
Thayeb, atas perintah Soeharto dibentuklah Kesatuan Aksi Mahasiswa
Indonesia (KAMI). Inilah embrio gerakan mahasiswa yang didukung oleh
tentara. KAMI lantas sering berdemo dengan didukung oleh pasukan RPKAD
dan Kostrad. Di beberapa buku sejarah G30S banyak pertanyaan, mengapa
Presiden Soekarno tidak mendukung G30S. Logikanya, jika Dewan Jenderal
berniat melakukan kup, lantas dewan Jenderal dibunuh oleh pasukan Cakra
Bhirawa dibantu pasukan Soeharto, mestinya Bung Karno langsung mendukung
G30S begitu mendengar para jenderal diculik. Tapi mengapa Bung Karno
malah menghentikan gerakan itu? Jawabnya adalah karena Bung Karno tidak
tahu rencana penculikan para jenderal itu. Ini sekaligus menjawab
pertanyaan mengapa nama Bung Karno tidak 36
tercantum dalam Dewan Revolusi yang diumumkan oleh Untung beberapa jam
setelah pembunuhan para jenderal. Dewan Revolusi ini adalah buatan
Untung sendiri tanpa konsultasi dengan Presiden.
Drama 1 Oktober 1965 dalam sekali pukul menghasilkan keuntungan bagi Soeharto:
1.
Mengubah kenyataan adanya komplotan Dewan Jenderal, di mana Soeharto
merupakan salah satu anggotanya, menjadi semacam fiksi belaka.
2.
Sebaliknya mengubah fiksi menjadi nyata bahwa yang sungguh-sungguh
melakukan kudeta bukanlah Dewan Jenderal, melainkan G30S pimpinan Untung
(yang sebenarnya disokong oleh Soeharto).
3.
Melikuidasi kelompok Yani sebagai rival potensial Soeharto.
4.
Membuka peluang Soeharto tampil sebagai pahlawan yang akhirnya benar-benar terwujud.
Nasib AH Nasution
Nasution meninggal dunia menjelang buku ini naik cetak, 6 September
2000. Dia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, dengan
upacara militer. Semoga arwahnya diterima di sisi Allah SWT, Amin.
Dialah perwira yang paling tinggi pangkatnya setelah Yani tiada. Saat
itu dia sudah menyandang bintang empat, sedangkan Soeharto masih bintang
tiga. Di saat TNI AD terpecah (secara tidak transparan) dalam kubu-kubu
di tahun 1960-an, Kubu Nasution ditakuti oleh kubu Yani dan Kubu
Soeharto. Banyak politikus saat itu yang mengatakan bahwa Letjen TNI AH
Nasution paling pantas menggantikan Presiden Soekarno. Dia terkenal
anti-PKI, memiliki dedikasi yang tinggi dan termasuk jenderal yang
diculik pelaku G30S (dia lolos, tapi anaknya tewas) sehingga wajar
menyandang gelar pahlawan.
Selain sangat berpengalaman di bidang militer, Nasution juga matang
berpolitik. Dialah pencetus ide Dwi Fungsi ABRI melalui jalan tengah
tentara. Ia berpengalaman melakukan manuver-manuver politik yang
dikoordinasi dengan menggunakan kekuatan militer, agar tentara bisa
masuk ke dalam lembaga-lembaga negara secara efektif di pusat dan
daerah.
Yang tidak banyak diketahui orang adalah bahwa dari sekian perwira
senior yang paling ditakuti Presiden Soekarno saat itu adalah Nasution.
Presiden Soekarno menjuluki Nasution sebagai pencetus gagasan Negara
dalam Negara. Itu berarti ia berani menentang kebijakan Bung Karno
(lihat Bab II). Di saat Yani masih ada pun, spekulasi yang berkembang
adalah bahwa jika Bung Karno meninggal atau sudah tidak lagi mampu
memimpin Indonesia, maka pengganti yang paling cocok adalah: Yani atau
Nasution. Kans mereka menjadi presiden sama besarnya. Tetapi Nasution
dilipat oleh Soeharto. Ia - seperti halnya Yani - tidak mewaspadai 37
isu Dewan Jenderal. Dia benar-benar tidak awas soal berbagai kemungkinan
yang bakal terjadi akibat isu tersebut. Dia benar-benar tidak tahu -
bahkan tidak menduga - bahwa Soeharto yang pangkatnya lebih rendah
berhasil menggosok Letkol Untung untuk menghantam Dewan Jenderal.
Akibatnya nyaris merenggut nyawa Nasution, tapi meleset sehingga Ade
Irma Suryani Nasution gugur sebagai Bunga Bangsa.
Pertanyaannya adalah: mengapa Soeharto dalam mengambil tindakan-tindakan
penting AD tidak melibatkan Nasution? Jawabnya: Soeharto memang
menggunakan Nasution sebagai umpan untuk menarik kekuatan-kekuatan
anti-komunis, baik militer maupun sipil yang berada di bawah pengaruh
Nasution. Pada sisi lain Nasution digunakan oleh Soeharto menjadi momok
bagi Bung Karno sebab ia tahu Nasution adalah orang yang paling berani
menentang gagasan Bung Karno. Saya mengatakan Soeharto mengambil
tindakan-tindakan penting tanpa melibatkan Nasution, tentu ada
contohnya. Salah satunya - berdasarkan informasi akurat yang saya terima
- adalah sebagai berikut: Setelah lolos dari penculikan, sekitar pukul
09.00 WIB Nasution bertemu dengan Soeharto. Pada waktu hampir bersamaan
pagi itu - 1 Oktober 1965 - Soeharto memerintahkan para petinggi AD
berkumpul dan rapat di Makostrad. Tetapi Soeharto minta bantuan Kodam
Jaya untuk menyembunyikan Nasution. Tujuannya seolah-olah untuk
mengamankan Nasution yang mungkin saja masih dikejar oleh pelaku G30S,
sehingga rapat di Makostrad itu tidak dihadiri oleh Nasution.
Menurut memori Yoga, dalam rapat langsung ditegaskan oleh Soeharto bahwa
penculikan para jenderal yang baru saja terjadi itu didalangi oleh PKI.
Soeharto juga berhasil mengajak Komandan RPKAD Sarwo Edhi Wibowo agar
menyatukan pasukannya di bawah pasukan Kostrad untuk menggempur pelaku
G30S dan PKI. Dibahas pula instruksi Presiden ke Mabes ABRI agar semua
pasukan tidak bergerak selain diperintah oleh Presiden (baca Dari Detik
ke Detik). Rapat akhirnya sepakat menolak perintah Presiden. Alasannya:
Nasib para jenderal yang diculik belum diketahui dengan pasti. Operasi
pengejaran terhadap para penculik sudah disiapkan di Makostrad. Bila
Menpangad tiada (Menpangad A Yani diculik) maka yang menggantikan adalah
Pangkostrad. Artinya Soeharto menunjuk dirinya sendiri. (Pada bagian
terdahulu disebutkan: Malamnya Soeharto mengumumkan di RRI bahwa ia
mengambil-alih kendali AD). Maka rapat memutuskan bahwa instruksi
Presiden tidak perlu dipatuhi. Selain itu secara otomatis disepakati
bahwa keputusan Presiden mengambil-alih kendali militer dan menunjuk
Mayjen Pranoto sebagai pelaksana sehari-hari (caretaker) Menpangad tidak
perlu dipatuhi.
Setelah rapat memutuskan banyak hal penting, Soeharto lantas
memerintahkan anak-buahnya untuk mengambil Nasution keluar dari
persembunyiannya dan membawanya ke Makostrad. Nasution tiba di Makostrad
dalam kondisi masih
38
stres berat (karena baru saja lolos dari pembunuhan) dan langsung
dimasukkan ke dalam ruang rapat. Peserta rapat masih berkumpul lengkap,
tetapi sore itu rapat sudah hampir selesai. Keputusan-keputusan sudah
diambil beberapa jam sebelumnya. Nasution hanya diberitahu bahwa rapat
sudah berlangsung sejak pagi dan sudah hampir selesai.
Dengan cara seperti itu Soeharto sudah menang setengah hari dari
Nasution. Dalam kondisi biasa setengah hari mungkin tidak ada artinya,
tetapi pada kasus itu menjadi sangat penting. Rapat itu menentukan
kondisi negara Indonesia pasca G30S. Nasution ternyata tidak marah bahwa
dirinya tidak dilibatkan dalam rapat. Karena, pertama, dengan
dimasukkan ke Makostrad berarti dia harus menghormati Pangkostrad
Soeharto. Dari cara Nasution disembunyikan Soeharto, lantas Nasution
dibawa ke Makostrad, bisa jadi membuat ia merasa seolah-olah menjadi
tawanan Soeharto. Apalagi ia masih stres berat setelah lolos dari
rentetan tembakan. Kedua, rapat toh sudah hampir selesai dan ia tidak
tahu apa isinya. Dari peristiwa itu tampak kecerdikan Soeharto
memasukkan Nasution dalam ruang rapat. Dengan begitu seolah-olah
Nasution ikut menyetujui keputusan-keputusan yang diambil dalam rapat.
Selain itu, tindakan itu juga menimbulkan kesan umum bahwa Nasution pun
dibawa ke Makostrad dan diamankan oleh Soeharto. Itu bisa menimbulkan
kesan: Soeharto berada di atas Nasution. Juga menguatkan asumsi bahwa
G30S didalangi PKI karena Nasution dikenal anti-komunis. Ini sekaligus
untuk menarik kekuatan-kekuatan anti-komunis - baik dari militer maupun
sipil - ke pihak Soeharto. Yang paling vital, kehadiran Nasution di
Makostrad saat itu dijadikan momok oleh Soeharto untuk menakut-nakuti
Presiden Soekarno.
Ada satu kalimat Nasution yang ditujukan kepada Soeharto sesaat sebelum
rapat selesai. Bunyinya demikian: Sebaiknya Mayjen Soeharto secepatnya
memulihkan keamanan agar masyarakat tenang. Pernyataan ini terlontar
secara spontan saja. Ia menginginkan agar secepatnya diambil tindakan
untuk menenangkan masyarakat (atau mungkin untuk menenangkan diri
Nasution sendiri). Tetapi bagi Soeharto kalimat itu ibarat Pucuk
dicinta, ulam tiba. Soeharto memang sedang menunggu orang yang bisa
memberi dia kuasa. Saran Nasution itu merupakan kuasa yang bisa dia
kembangkan kepada Presiden Soekarno. Tidak perlu menunggu lama, esoknya
dia bersama Yoga dan kelompok bayangannya beragkat ke Istana Bogor untuk
menemui Presiden Soekarno. Di sana Soeharto memaksa Bung Karno minta
kuasa. Akhirnya Soeharto benar-benar mendapatkannya: Pangkopkamtib
39
BAB III
Kuasa Berpindah
Peran Mahasiswa
Ada masa di mana Indonesia lowong kepemimpinan: sejak awal Oktober 1965
sampai Maret 1966 atau selama sekitar enam bulan. Bung Karno masih
sebagai presiden, tetapi sudah tidak punya kuasa lagi. Beliau dilarang
meninggalkan Istana Bogor atau lebih tepat menjadi tawanan Soeharto.
Sepanjang masa itu juga tidak ada keputusan penting yang dikeluarkan
oleh pemerintah. Soeharto lebih banyak menentukan kebijakan negara,
namun secara formal dia adalah Menpangad. Bung Karno pada tenggang waktu
itu belum benar-benar sampai pada ajal politik. Beliau masih punya
pengaruh, baik di Angkatan Bersenjata maupun di kalangan Parpol-Parpol
besar dan kecil. Para pimpinan Parpol umumnya mendukung Angkatan Darat
untuk membasmi PKI, namun mereka juga mendukung Bung Karno yang berupaya
memulihkan wibawa, walaupun Bung Karno akrab dengan PKI. Sepintas
tampak ada dualisme sikap para pimpinan Parpol. Di satu sisi anti-PKI,
di sisi lain mendukung Bung Karno. Sedangkan di kalangan Angkatan
Bersenjata umumnya juga menentang PKI, namun sebagian mendukung Bung
Karno. Sebagaimana umumnya menghadapi masa transisi, sebagian perwira
merasa khawatir tentang posisi mereka. Mereka tidak tahu apa yang akan
terjadi jika Soeharto menjadi pemimpin kelak.
Di sisi lain, proses kudeta merangkak belum berakhir. Manuver Soeharto merebut kekuasaan tertinggi ada empat tahap:
1.
Menyingkirkan saingan beratnya sesama perwira tertinggi.
2.
Menghabisi PKI, partai besar yang akrab dengan Bung Karno
3.
Melumpuhkan para menteri pembantu presiden
4.
Melumpuhkan Bung Karno.
Mengapa harus empat tahap? Jawabnya adalah bahwa sebelum G30S Soeharto
bukan perwira yang diperhitungkan. Karena selain pangkatnya masih
Mayjen, ia juga pernah memiliki cacat saat menyelundupkan barang di
Jateng sehingga untuk mencapai pimpinan puncak ia harus melewati proses
panjang. Sampai di sini sudah dua tahap tercapai: para jenderal
saingannya sudah dihabisi dan PKI sudah digempur. Kendati demikian, Bung
Karno masih juga punya pengaruh. Selain itu para menteri juga masih ada
walaupun sudah tidak berfungsi.
Untuk mengimbangi - lebih tepat melumpuhkan - sisa-sisa kekuatan Bung
Karno, Soeharto mengerahkan mahasiswa. Seperti disebut di bagian
terdahulu, pada akhir Oktober 1965 di rumah Brigjen Sjarif Thajeb, atas
perintah Soeharto dibentuk KAMI. Nah, sejak itu demo mahasiswa didukung
oleh tentara terus bergerak 40
mengkritik Presiden Soekarno. Saat itulah muncul slogan Tritura (tri atau tiga tuntutan rakyat):
1.
bubarkan PKI
2.
bersihkan anggota kabinet dari unsur-unsur PKI
3.
turunkan harga kebutuhan pokok.
Bung Karno - yang masih menjabat sebagai presiden - lantas membubarkan
KAMI. Tetapi setelah KAMI bubar muncul kelompok sejenis berganti nama
menjadi KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia). Tujuannya
tetap sama: berdemo mengkritik Presiden Soekarno. Dan karena demo itu
didukung oleh tentara tentu saja para pemuda dan mahasiswa berani. Ini
yang kemudian disebut kelompok pemuda Angkatan ’66, kelompok yang
diprakarsai oleh Soeharto. Sementara itu harga kebutuhan pokok rakyat
memang melambung tinggi. Saya tahu persis melonjaknya harga itu terjadi
karena rekayasa Soeharto. Tepatnya Soeharto dibantu oleh dua pengusaha
Cina: Liem Sioe Liong (dulu bekerjasama menyelundupkan barang) dan Bob
Hasan (juga teman Soeharto sewaktu di Jawa Tengah). Itu dilakukan di
tenggang waktu antara Oktober 1965 sampai Maret 1966. Akibat
selanjutnya: inflasi melambung sampai 600%, defisit anggaran belanja
negara semakin parah sampai 300%. Rakyat tercekik. Untuk membeli beras,
gula dan minyak orang harus antri. Inilah operasi intelijen yang sukses
melumpuhkan ekonomi negara.
Tentang hubungan bisnis Soeharto dengan Liem Sioe Liong dan Bob Hasan di
Jateng yang paling tahu adalah Mayjen Pranoto. Saat Soeharto sebagai
Panglima Divisi Diponegoro, Pranoto adalah kepala stafnya. Pranoto sudah
sangat jengkel pada Soeharto perihal bisnis memanfaatkan jabatan yang
dilakukan Soeharto, dibantu Liem Sioe Liong dan Bob Hasan.
Sangat mungkin ulah Soeharto dan Liem menyelundupkan barang dulu
dibongkar oleh Pranoto sehingga akhirnya diketahui Menpangad Yani,
sampai-sampai Yani menempeleng Soeharto. Jadi tindakan Soeharto menjegal
Pranoto yang diangkat oleh Presiden Soekarno menjadi caretaker
Menpangad (1 Oktober 1965) bukan semata-mata perebutan jabatan (dengan
cara kotor) tetapi juga ada faktor dendam pribadinya. Sementara, gerakan
mahasiswa menuntut pemerintah semakin gencar. Tritura terus diteriakkan
hampir setiap hari. Soeharto merekayasa agar harga kebutuhan pokok
melambung. Dia pula yang mengerahkan mahasiswa berdemo menuntut
penurunan harga. Sedangkan rakyat jelas mendukung gerakan mahasiswa
karena tuntutan mereka sejalan dengan keinginan rakyat.
Siapa pun yang menjadi presiden saat itu pasti tidak dapat berbuat banyak. Apalagi
41
Presiden Soekarno dilarang meninggalkan Istana Bogor. Di sini semakin
jelas kelicikan Soeharto. Cara Soeharto menjatuhkan Soekarno benar-benar
efektif walaupun di mata rakyat saat itu tidak kelihatan.
Saya menilai hanya sebagian mahasiswa yang berdemo dengan motivasi
tercekik oleh harga bahan kebutuhan pokok sebab mereka bukan orang awam,
mereka bukan anak kecil. Sebagian dari mereka pasti tahu bahwa harga
kebutuhan pokok melejit akibat rekayasa Soeharto. Mereka adalah kaum
intelektuil yang mengikuti perkembangan negara mereka. Tetapi gerakan
mereka didukung oleh tentara dan rakyat - dua kekuatan utama bangsa ini -
sehingga sebagian yang sadar akan kondisi yang sebenarnya tidak berani
menentang arus. Semua pasti mencari selamat bagi diri sendiri. Mereka
terpaksa terbawa arus, ikut menentang pemerintah. Pada tanggal 10
Januari 1966 ribuan mahasiswa berkumpul di Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia di Salemba. Mereka meneriakkan Tritura. Komandan
RPKAD (kelak diganti menjadi Kopassus) Sarwo Edhi berpidato di tengah
ribuan mahasiswa untuk mengobarkan semangat mahasiswa berdemo. Usai
Sarwo Edhi berpidato ribuan mahasiswa bergerak turun ke jalan menuju
kantor P&K untuk menyampaikan tuntutan tersebut. Di P&K mereka
bertemu dengan Wakil Perdana Menteri-III Chaerul Saleh. Mahasiswa
menyampaikan tuntutan mereka kepada Chaerul Saleh. Tuntutan ditanggapi
Chaerul sambil lalu.
Lantas mahasiswa melanjutkan demo turun ke jalan. Pendapat umum yang
dibentuk melalui surat kabar menyebutkan bahwa tuntutan mahasiswa itu
murni. Ini jelas menyesatkan masyarakat. Bahan kebutuhan pokok sengaja
dimusnahkan oleh Soeharto. Di sisi lain, mahasiswa bergerak didukung
oleh tentara yang dipimpin Soeharto. Jadi mana bisa tuntutan mereka
dikatakan murni? Satu-satunya tuntutan mahasiswa yang murni - menurut
saya - adalah: bubarkan PKI. Sebagai gambaran: kelak setelah Soeharto
berkuasa dan kepentingan politiknya sudah tercapai, ia memberangus
mahasiswa. Caranya dengan memerintahkan menteri P&K mengeluarkan
peraturan NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) dan BKK (Badan Koordinasi
Kemahasiswaan). Itu terjadi di pertengahan 1970-an. Intinya: mahasiswa
dilarang berdemo. Saya di dalam penjara mengikuti berita itu dan
mengamati bahwa ternyata Soeharto ngeri dengan bekas salah satu
senjatanya, mahasiswa. Akhirnya ia juga jatuh tersungkur antara lain
akibat tekanan ribuan mahasiswa yang menduduki Gedung DPR/MPR
pertengahan Mei 1998. Saya tidak pernah menyesal pada sikap pemuda dan
mahasiswa Angkatan-66. Kondisi dan situasi negara saat itu memungkinkan
mereka bersikap begitu. Generasi muda di mana pun di dunia ini cenderung
berpihak pada pembaharuan. Karakteristik ini dimanfaatkan dengan baik
oleh orang yang haus kuasa. Apalagi secara de facto pemimpin Indonesia
sejak 1 Oktober 1965 adalah Soeharto, walau secara de jure ia adalah
Menpangad.
42
Bung Karno memang masih sebagai Presiden RI dan pemerintah masih
berdiri, tetapi kondisi negara tak terkendali, baik oleh penggempuran
besar-besaran tentara terhadap rakyat untuk membersihkan PKI maupun oleh
kondisi perekonomian yang rusak berat. Orang tidak perlu susah-susah
mencari tahu apakah ini hasil rekayasa atau murni ketidak-mampuan
pemerintah, sehingga rakyat secara jelas menyaksikan drama kejatuhan
Bung Karno dari tampuk kekuasaannya.
Namun gerakan mahasiswa ternyata ditanggapi Bung Karno. Pada 15 Januari
1966 dalam Sidang Kabinet Presiden Soekarno berpidato menjawab Tritura
yang dikobarkan oleh mahasiswa. Menurut Presiden Soekarno Tritura adalah
hasil rekayasa TNI AD. Dengarkan cuplikan pidato Soekarno yang sebagian
sempat saya catat. Bunyinya demikian: Saya tidak akan mundur sejengkal
pun. Saya tetap Pemimpin Besar Revolusi. Maka saya tidak dapat bicara
lain. Ayo….Siapa yang membutuhkan Soekarno, setuju dengan Soekarno
sebagai Pemimpin Besar Revolusi, maka satukan seluruh kekuatanmu.
Pertahankan Soekarno. Berdirilah di belakang Soekarno. Tunggu komando…
Inilah pernyataan Bung Karno di depan publik yang paling keras. Dengan
pidato Bung Karno yang berapi-api, semua pihak menjadi cemas. Bung Karno
masih punya pendukung, termasuk dari Angkatan Bersenjata. Para
menterinya masih lengkap. Jabatannya masih Presiden RI. Maka semua pihak
khawatir Indonesia bakal memasuki pergolakan sangat hebat dalam waktu
dekat dan bakal terjadi pertumpahan darah yang jauh lebih besar dari
G30S.
Maka setelah itu - pada malam hari berikutnya - saya selaku Wakil
Perdana Menteri-I membentuk Barisan Soekarno. Anggotanya semua menteri.
Tujuannya tentu untuk membela Presiden. Front Nasional yang sudah ada
sebelumnya harus masuk ke Barisan Soekarno.
Pada tanggal 20 Januari 1966 para menteri berkumpul di Istana. Mereka
menyatakan sepakat menjadi bagian paling depan dari pendukung Soekarno.
Itu merupakan bagian dari upaya pendukung Soekarno untuk come back,
walaupun secara formal Soekarno masih Presiden-RI, pun secara formal
pendukung terdepan masih Menteri Negara.
Namun Bung Karno tidak melakukan follow-up, tidak ada tindak-lanjut dari
pidatonya yang keras itu. Tidak ada perintah apa pun meski ia tahu
pendukungnya sudah siap membela. Para pendukungnya pun tidak bergerak
sebab dalam pidatonya Bung Karno antara lain menyerukan: tunggu
komando…Seruan ini ditaati para pendukungnya. Dan komando ternyata tidak
juga kunjung datang. Seandainya komando benar-benar diserukan, saya
tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya Indonesia.
43
Supersemar Sebuah sumber saya mengatakan bahwa pada tanggal 10 Maret
1966 Soeharto mengadakan pertemuan di rumahnya di Jalan H Agus Salim.
Pertemuan dihadiri oleh Pangdam Jaya Mayjen Amir Machmud, Pangdam Jatim
Mayjen Basuki Rahmat dan Mayjen M Yusuf. Inti pembicaraan: Soeharto
selaku Menpangad minta dukungan untuk mendapatkan suatu mandat penuh
dari Presiden RI Soekarno. Tujuannya adalah agar dapat mengatasi
kesulitan-kesulitan yang dihadapi negara, di samping untuk menciptakan
suasana aman dan politik yang stabil. Tiga jenderal yang menghadap
akhirnya sepakat dengan ide Menpangad. Lantas Soeharto menyampaikan
pidato penting. Pidatonya berapi-api mengkritik kondisi negara yang
tidak menentu, sedangkan para menteri tidak dapat menyelesaikan
persoalan bangsa. Merka hanya bicara di sidang-sidang, tidak melakukan
tindakan kongkrit. Ia menyerukan: para mahasiswa dari Jakarta, Bandung
dan Bogor untuk boleh saja berdemo di saat Sidang Kabinet yang akan
diselenggarakan esok harinya (11 Maret 1966) di Istana Merdeka.
Akibatnya luar biasa: Pagi-pagi sekali sebelum sidang dibuka ribuan
mahasiswa datang berbondong-bondong menuju Istana. Mereka mendesak masuk
ke halaman Istana. Pasukan Kawal Presiden Cakra Bhirawa berupaya
menahan mereka di pagar Istana. Petugas sampai terpaksa meletuskan
tembakan peringatan ke udara. Keadaan ternyata tidak mudah dikendalikan
oleh Pasukan Kawal Presiden. Soeharto tidak hanya menggerakkan
mahasiswa, namun juga memberi dukungan kepada mereka dengan mengerahkan
tentara (belakangan saya ketahui tiga kompi RPKAD didukung oleh pasukan
Kostrad pimpinan Kemal Idris). Tujuan mereka antara lain menangkap saya.
Soeharto juga sudah setuju.
Tentara mengenakan seragam loreng, bersenjata lengkap namun tanpa tanda
pengenal. Mereka bersama mahasiswa menyebar di jalanan yang akan
dilewati oleh mobil menteri peserta sidang. Begitu melihat mobil menteri
mereka langsung mencegat. Ban mobil digembosi. Istana pun dikepung
sedemikian rupa. Pasukan tanpa tanda pengenal itu herhadap-hadapan
dengan Pasukan Cakra Bhirawa dalam jarak dekat.
Saya berkesimpulan bahwa Soeharto mengharapkan dengan begitu Soekarno
akan menyerah tanpa syarat. Keadaan benar-benar gawat, sebab bisa timbul
korban yang sangat besar. Saya menilai Soeharto adalah pembunuh
berdarah dingin, dia tega membunuh siapa saja demi terwujud ambisi
politiknya. Coba bayangkan kalau Pasukan Cakra Bhirawa saat itu
bertindak keras menghalau mahasiswa, tentu bakal terjadi pertumpahan
darah yang luar biasa. Sebab mahasiswa akan bertahan mati-matian karena
merasa mendapat angin dan didukung oleh tentara. Juga bisa terjadi
perang kota antara pasukan Cakra Bhirawa melawan pasukan tanpa
identitas.
44
Hebatnya, dalam Sidang Kabinet itu Soeharto tidak datang dengan alasan
sakit batuk. Informasi sakitnya Soeharto ini disampaikan oleh Amir
Machmud beberapa waktu kemudian. Menurut pengakuan Amir Machmud - seusai
mengikuti Sidang Kabinet - ia bersama Basuki Rachmat dan M Yusuf
mendatangi rumah Soeharto. Soeharto sakit tenggorokan sehingga tidak
dapat bicara keras. Saat kami datang ke rumahnya dia masih mengenakan
piyama dengan leher dibalut, kata Amir Machmud. Tetapi seorang intelijen
saya melaporkan bahwa pada sore harinya Soeharto memimpin rapat di
Makostrad. Di sini semakin jelas bahwa Soeharto adalah pembohong besar.
Jika seandainya dalam Sidang Kabinet Soeharto ikut (sebagai Menteri
Panglima Angkatan Darat seharusnya dia ikut) maka ada 3 risiko yang
bakal dihadapi oleh Soeharto:
1.
Dalam keadaan Istana dikepung oleh mahasiswa dan tentara tentu dalam
sidang Bung Karno akan bertanya kepada Soeharto: Harto, engkau yang
telah kuangkat menjadi Panglima Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, ayo
bergerak. Bereskan pengacau-pengacau itu. Maka perintah Presiden itu
bakal ibarat buah simalakama bagi Soeharto: dimakan ibu mati, tak
dimakan bapak tewas.
2.
Jika Soeharto melaksanakan perintah, maka namanya bakal merosot di mata
para demonstran yang ia gerakkan sendiri. Ini berarti peluang bagus bagi
Nasution untuk tampil sebagai presiden.
3.
Jika Soeharto menolak perintah di depan Sidang Kabinet, maka bisa
berakibat fatal bagi Soeharto. Tentu Bung Karno bisa segera
memerintahkan Pasukan Cakra Bhirawa untuk menangkap Soeharto seketika
itu juga.
Akhirnya cara terbaik bagi Soeharto untuk menghindari semua kemungkinan
buruk itu adalah nyakit (pura-pura sakit). Bukankah ini membuktikan
bahwa Soeharto licin dan pembunuh berdarah dingin? Ia tidak peduli bahwa
tindakannya mengerahkan ribuan mahasiswa dan tentara bisa menimbulkan
konflik besar yang menghasilkan banjir darah bangsanya sendiri.
Sidang Kabinet 11 maret 1966 dibuka oleh Presiden Soekarno. Di beberapa
buku juga disebutkan bahwa setelah Presiden Soekarno membuka sidang,
beberapa saat kemudian pengawal presiden, Brigjen Sabur, menyodorkan
secarik kertas ke meja presiden. Isinya singkat: Di luar banyak pasukan
tak dikenal. Beberapa saat kemudian Presiden keluar meninggalkan ruang
sidang. Pimpinan sidang diserahkan kepada Leimena. Saya lantas menyusul
keluar. Banyak ditulis saat keluar sepatu saya copot karena
terburu-buru.
Memang benar. Dulu saat sidang kabinet biasanya para menteri mencopot
sepatu - mungkin karena kegerahan duduk lama bersepatu - tetapi sepatu
yang dicopot itu
45
tidak kelihatan oleh peserta sidang karena tertutup meja. Saya juga
biasa melakukan hal itu. Nah, saat kondisi genting sehingga Presiden
meninggalkan ruang sidang secara mendadak, saya keluar terburu-buru
sehingga tidak sempat lagi memakai sepatu.
Begitu keluar dari ruang sidang - ini yang tidak ada di dalam buku-buku
sejarah - saya sempat bingung, akan ke mana? Saya mendapat informasi,
pasukan tak dikenal itu sebenarnya mengincar keselamatan saya. Padahal
begitu keluar ruangan saya tidak melihat Bung Karno yang keluar ruangan
lebih dulu. Dalam keadaan bingung saya lihat sebuah sepeda, entah milik
siapa. Maka tanpa banyak pikir lagi saya naiki sepeda itu. Toh mobil
saya - dan mobil semua menteri - sudah digembosi oleh para demonstran.
Dalam kondisi hiruk-pikuk di sekitar Istana saya keluar naik sepeda.
Ternyata tidak ada yang tahu bahwa saya adalah Soebandrio yang sedang
diincar tentara. Padahal saya naik sepeda melewati ribuan mahasiswa dan
tentara yang meneriakkan yel-yel Tritura dan segala macam kecaman
terhadap Bung Karno. Memang, saat menggenjot sepeda saya selalu
menunduk, tetapi kalau ada yang teliti pasti saya ketahuan.
Sepeda saya terus meluncur ke selatan. Tujuan saya pulang. Sampai di
Bundaran Air Mancur (perempatan Bank Indonesia) saya melihat begitu
banyak mahasiswa dan tentara. Mereka tidak hanya berada di sekitar
Istana tetapi juga menyemut di Jalan Thamrin. Sampai di sini perasaan
saya jadi tidak enak. Memang sejauh ini saya sudah lolos. Tetapi bisakah
melewati ribuan mahasiswa yang menyemut itu? Maka seketika itu juga
saya memutuskan untuk kembali, berbalik arah. Saya kembali ke Istana.
Hebatnya, saya sampai di Istana lagi tanpa diketahui oleh para
demonstran. Di dalam buku-buku sejarah disebutkan bahwa begitu keluar
dari ruang sidang, saya langsung memburu Bung Karno naik helikopter.
Yang sebenarnya terjadi seperti saya sebutkan ini: Begitu tiba kembali
di Istana, saya lihat ada helikopter. Saya tidak ahu apakah sejak tadi
heli itu sudah ada atau baru datang. Atau mungkin karena saya panik,
saya tadi tidak melihat heli yang ada di sana sejak tadi. Namun yang
melegakan adalah bahwa beberapa saat kemudian saya melihat Bung Karno
didampingi oleh para ajudan berjalan menuju heli. Karena itu sepeda saya
geletakkan dan saya berlari menuju heli. Mungkin saat itulah - ketika
berlari menuju heli tanpa sepatu - saya dilihat banyak orang sehingga
ditulis di koran-koran: Dr. Soebandrio berlari menyusul Bung Karno
menuju heli tanpa sepatu. Akhirnya saya bisa masuk ke dalam heli dan
terbang bersama Bung Karno menuju Istana Bogor.
46
Jadi sebenarnya begitu meninggalkan ruang sidang Bung Karno tidak
langsung menuju heli, tetapi ada tenggang waktu cukup lama. Saya sudah
menggenjot sepeda dari Istana ke Bundaran Air Mancur dan kembali lagi.
Mungkin setelah meninggalkan ruang sidang Bung Karno masih mengadakan
pertemuan dengan para ajudan dan penasihat militer untuk membahas
situasi, sehingga hal itu menguntungkan saya. Seandainya tidak bertemu
Bung Karno, entah bagaimana nasib saya.
Setelah peristiwa itu saya merenung. Untungnya saat itu saya dan Leimena
lolos dari target penangkapan mereka. Seandainya saya tertangkap atau
dihabisi, maka bakal terjadi bentrokan hebat. Bung Karno dan pasukannya
yang masih setia tidak akan tinggal diam. Akibatnya bisa banjir darah.
Kalau itu terjadi pasti Soeharto akan berbalik mengkhianati
teman-temannya yang semula dia tugaskan untuk mengerahkan pasukan
mengepung Istana. Percobaan kudeta 3 Juli 1946 yang gagal menjadi
dasarnya. Juga bantuan pasukan Soeharto kepada Letkol Untung untuk
membantai para jenderal menjadi buktinya.
Menjelang petang Istana Bogor didatangi oleh tiga jenderal (Basuki
Rachmat, Amir Machmud dan M Yusuf). Ketika itu tiga Waperdam (saya,
Leimena dan Chaerul Saleh) sudah di sana. Leimena dan Chaerul menyusul
kami ke Istana Bogor melalui jalan darat. Kami bertiga sempat istirahat
di paviliun. Ketika tiga jenderal datang Bung Karno menerima mereka di
gedung utama. Mereka berbicara cukup lama. Para Waperdam hanya siaga di
paviliun. Beberapa jam kemudian saya, Chaerul dan Leimena dipanggil oleh
Bung Karno masuk ke ruang pertemuan. Di sana ada tiga jenderal itu.
Namun saat kami masuk sudah ada kesepakatan antara mereka dan Bung
Karno.
Saya masuk ruang pertemuan. Bung Karno sedang membaca surat. Basuki
Rachmat, Amir Machmud dan M Yusuf duduk di depannya. Lantas saya
disodori surat yang dibaca oleh Bung Karno, sedangkan Chaerul Saleh
duduk di sebelah saya. Isi persisnya saya sudah lupa tetapi intinya ada
empat hal. Presiden Soekarno memberi mandat kepada Soeharto untuk:
1.
mengamankan wilayah Jakarta dan sekitarnya. Untuk itu harus dijalin kerjasama dengan unsur-unsur kekuatan lainnya.
2.
Penerima mandat wajib melaporkan kepada Presiden atas semua tindakan yang akan dilaksanakan
3.
Penerima mandat wajib mengamankan Presiden serta seluruh keluarganya
4.
Penerima mandat wajib melestarikan ajaran Bung Karno.
Soal urutannya mungkin terbalik-balik namun intinya berisi seperti itu.
Bagaimana Ban, kau setuju? Tanya Bung Karno. Beberapa saat saya diam.
Saya pikir, Bung Karno sebenarnya hanya mengharapkan saya menyatakan
setuju, padahal dalam hati saya tidak setuju. Bukankah Presiden adalah
Panglima 47
Tertinggi ABRI dan seharusnya kendali keamanan negara berada di tangan
Presiden? Saya merasa Bung Karno sudah ditekan. Terbukti ada kalimat
Mengamankan pribadi Presiden dan keluarganya, artinya keselamatan
Presiden terancam oleh pihak yang menekan agar surat tersebut
dikeluarkan. Tetapi kalimat unik ini tidak ada dalam sejarah versi Orde
Baru. Bahkan lebih hebat lagi, naskah Supersemar yang membuat Soeharto
ditunjuk sebagai pengemban Supersemar (menjadi presiden tanpa melalui
proses pemilu dan dipilih MPR) kini sudah tiada. Tidak jelas keberadaan
surat yang begitu penting.
Bagaimana, Ban, setuju? Tanya Bung Karno lagi.
Ya, bagaimana, bisa berbuat apa saya? Bung Karno sudah berunding tanpa
kami jawab saya. Lantas dipotong oleh Bung Karno: Tapi kau setuju?
Kalau bisa, perintah lisan saja kata saya memberanikan diri. Saya lirik,
tiga jenderal itu melotot ke arah saya tetapi saya tidak takut. Mereka
pasti geram mendengar kalimat saya yang terakhir itu. Tetapi saya tahu
mereka tidak bisa berbuat banyak. Suasana saat itu terasa tegang.
Lantas Amir Machmud menyela: Bapak Presiden tanda tangan saja. Bismillah
saja, pak.. Bung Karno rupanya sudah ditekan tiga jenderal itu saat
berunding tadi. Raut wajahnya terlihat ragu-ragu, tetapi seperti
mengharapkan dukungan kami agar setuju. Akhirnya saya setuju. Chaerul
dan Leimena juga menyatakan setuju. Bung Karno lantas teken (tanda
tangan). Tiga jenderal langsung berangkat kembali ke Jakarta menemui
Soeharto yang mengutus mereka. Bahkan mereka menolak ketika ditawari
Bung Karno untuk makan malam bersama. Maaf, pak. Karena hari sudah
malam, ujar salah seorang dari mereka. Dengan wajah berseri mereka
membawa surat bersejarah yang kemudian dinamakan Supersemar.
Esoknya, 12 Maret 1966, Soeharto langsung mengumumkan pembubaran PKI.
Uniknya, pembubaran PKI itu menggunakan surat keputusan Presiden nomor
113 tahun 1966. Saat diumumkan juga dibacakan ditandatangani oleh
Presiden Soekarno. Enam hari kemudian 15 menteri yang masih aktif
ditangkapi. Tentu saja Soeharto tidak melapor lebih dahulu kepada
Presiden. Untuk pembubaran PKI, surat malah baru sampai ke tangan
Soeharto tengah malam dan esok siangnya ia langsung mengambil kebijakan
itu. Untuk penangkapan 15 menteri, alasannya adalah agar para menteri
itu jangan sampai menjadi korban sasaran kemarahan rakyat yang tidak
terkendali. Tetapi ia juga menyampaikan alasan yang kontradiktif yakni:
para menteri hanyalah pembantu presiden, bukan bentuk kolektif
pemerintahan. Jadi bisa saja ditangkap. Yang jelas, begitu ditangkap
para menteri langsung ditahan. Tuduhannya gampang: terlibat G30S/PKI -
tuduhan yang sangat ditakuti seluruh rakyat Indonesia sepanjang Soeharto
berkuasa. Mengkritik kebijaksanaan pemerintahan Soeharto bisa dituduh
PKI.
Surat Perintah 11 Maret 1966 sudah diselewengkan. Soeharto menafsirkannya 48
sebagai: Bung Karno menyerahkan kekuasaan kepada Soeharto, bukan
perintah memulihkan keamanan Ibukota. Sebagai orang yang tahu persis
kondisi saat itu, saya sangat yakin tujuan Soeharto membubarkan PKI dan
menangkapi 15 menteri adalah rangkaian strategi untuk meraih puncak
kekuasaan. Seperti disebut di muka, strategi Soeharto ada empat tahap:
1.
habisi para jenderal saingan
2.
hancurkan PKI
3.
copoti para menteri
4.
jatuhkan Bung Karno.
Kini yang dicapai Soeharto sudah tiga tahap. Tinggal tahap terakhir.
Bung Karno pun bereaksi. Tidak benar jika Bung Karno diam saja. Beliau
memerintahkan Leimena menemui Soeharto menanyakan hal itu: Bagaimana
ini? Surat perintah hanya untuk mengamankan Jakarta, bukan untuk
pembubaran PKI. Kok malah main tangkap, kata Leimena kepada Soeharto.
Tetapi Soeharto tidak menggubris. Seperti terjadi pada tanggal 3 Oktober
1965 - saat Leimena protes pada Soeharto karena Bung Karno ditawan di
Istana Bogor - Soeharto menyatakan: Pak Leimena jangan ikut campur.
Sekarang saya yang kuasa. Leimena kembali ke Istana Bogor melaporkan
reaksi Soeharto. Dan Bung Karno terdiam, tetapi dari wajahnya kelihatan
jelas bahwa beliau sedang marah. Dari laporan Leimena kami tahu bahwa
saat itu situasi Jakarta sangat tegang: tank dan kendaraan lapis baja
bersiaga di setiap ujung jalan, tentara ada di mana-mana. Mereka
dikenali sebagai pasukan Kostrad dan Brigade Para 3 Yon Siliwangi. Kali
ini untuk menakut-nakuti anggota PKI yang jumlahnya masih sangat besar
saat itu. Mungkin pula ditujukan untuk memberikan tekanan psikologis
terhadap Bung Karno yang sudah kehilangan kuasa agar tidak
menghalang-halangi pembubaran PKI atau mungkin juga ditujukan untuk
kedua-duanya.
15 menteri yang ditangkapi adalah:
1.
Saya (Waperdam-I merangkap Menlu, merangkap Kepala BPI)
2.
Waperdam-II Chaerul Saleh
3.
Menteri Tenaga Listrik S. Reksoprojo
4.
Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan Sumardjo
5.
Menteri Keuangan Oei Tjoe Tat
6.
Menteri Bank Sentral dan Gubernur BI Yusuf Muda Dalam
7.
Menteri Pertambangan Armunanto
8.
Menteri Irigasi dan Pembangunan Desa Ir. Surahman
9.
Menteri Perburuhan Sutomo Martoprojo
10.
Menteri Kehakiman Andjarwinata
11.
Menteri Penerangan Asmuadi
12.
Menteri Urusan Keamanan Letkol Imam Syafi’i
13.
Menteri Sekretaris Front Nasional Ir. Tualaka
14.
Menteri Transmigrasi dan Koperasi Ahmadi
49
15.
Menteri Dalam Negeri merangkap Gubernur Jakarta Raya Sumarno Sastrowidjojo
Meskipun sudah menangkap 15 menteri yang masih aktif menjalankan tugas,
namun Soeharto tanpa rasa malu sedikit pun menyatakan bahwa kekuasaannya
diperoleh secara konstitusional. Padahal ketika menangkap kami (para
menteri) perintah Soeharto kepada tentara yang melaksanakan berbunyi
demikian: Tangkap dulu mereka, alasannya cari kemudian.
Itulah filsafat Soeharto dalam logika kekerasannya. Persis seperti
dilakukan Soeharto pada tragedi 1 Oktober 1965. Beberapa jam setelah
para jenderal dibunuh, kelompok bayangan Soeharto langsung mengumumkan:
G30S didalangi PKI. Lantas Soeharto memerintahkan: Basmi dulu partai itu
(PKI), bukti-bukti cari kemudian. Apakah ini konstitusional seperti
yang sangat sering dikatakan Soeharto ketika dia memerintah?
Melenggang Ke Istana
Kini sudah tinggal setengah tahap lagi dari bagian tahap terakhir:
jatuhkan Bung Karno. Setelah Supersemar - ketika Soeharto membubarkan
PKI dan menangkapi para menteri setia - Bung Karno sebenarnya sudah
setengah jatuh. Beliau sudah tidak berdaya dan para menterinya yang
masih aktif ditangkapi. Maka ajal politik tinggal tunggu waktu.
Setelah PKI resmi dibubarkan, tiga tokoh pimpinan PKI - yaitu DN Aidit,
Njoto dan Lukman - ditangkap hidup-hidup. Presiden Soekarno yang sudah
kehilangan powernya menolak memerintahkan mengadili mereka (entah
mengapa). Persoalan ini lantas diambil-alih oleh Soeharto. Para pimpinan
PKI itu diadili dengan cara tersendiri. Soeharto memerintahkan tentara
menembak mati ketiganya. Dan ketiganya memang didor tanpa melalui proses
hukum yang berlaku.
Dengan perlakuan Soeharto seperti itu sangat wajar jika saya katakan
bahwa Soeharto tidak ingin kedoknya (memanipulir G30S) terbongkar di
pengadilan jika tiga pimpinan PKI itu diadili. Sedangkan saya yang
mengalami semua kejadian ini jelas yakin bahwa Soeharto terlibat G30S.
Setelah Supersemar, Soeharto membongkar-pasang keanggotaan DPRGR yang
merupakan bagian dari MPRS. Caranya dengan merampas kursi yang semula
diduduki oleh anggota PKI dan menggantinya dengan orang-orang Soeharto
sendiri. Kemudian Soeharto menyuruh MPRS (yang sebagian besar sudah
diisi orang-orangnya) bersidang. Inti sidang adalah mengukuhkan
Supersemar secara konstitusional. Bersamaan dengan itu pembantaian
besar-besaran terhadap anggota PKI sudah 50
dilegalkan. Keluarga anggota PKI, teman-teman mereka, bahkan ada juga
rakyat yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan PKI ikut terbunuh.
Darah orang PKI, keluarga dan teman mereka halal bila ditumpahkan.
Inilah pembantaian terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Tidak ada yang
tahu persis berapa jumlah rakyat yang terbunuh. Ada yang mengatakan
800.000, ada yang mengatakan 1.000.000. Yang paling tinggi adalah
pernyataan Sarwo Edhi Wibowo yang katanya mencapai 3.000.000 manusia.
Dalam sidang MPRS Juni 1966 Soeharto menetapkan RI kembali ke UUD 1945
secara murni dan konsekuen. Juga memerintahkan mencabut Ketetapan MPRS
tahun 1963 yang mengangkat Bung Karno sebagai presiden seumur hidup.
Juga menyatakan pemberian gelar Pemimpin Besar Revolusi terhadap Bung
Karno tidak memiliki kekuatan hukum. Asal diketahui, pengangkatan Bung
Karno sebagai presiden seumur hidup bukan datang dari Bung Karno. Juga
bukan dari pendukung setia Bung Karno (PKI). Pengangkatan itu atas
usulan perwira AD sendiri, yakni Brigjen Suhardiman.
Pada awal Juli 1966 Soeharto menyetujui Nasution menjadi ketua MPRS.
Beberapa hari kemudian - 5 Juli 1966 - MPRS mengeluarkan ketetapan:
Soeharto selaku Pengemban Supersemar diberi wewenang membentuk kabinet.
Maka dibentuklah Kabinet Ampera menggantikan Kabinet Dwikora. Kabinet
baru ini tidak lagi berada di bawah kekuasaan Presiden Soekarno, namun
sudah di bawah Soeharto selaku Ketua Presidium Kabinet. Sejak itu secara
formal berakhirlah pemerintahan Presiden Soekarno.
Nasution yang baru terpilih menjadi ketua MPRS segera menyanyikan lagu
gubahan Kelompok Bayangan Soeharto. Tap MPRS yang lahir sebelum Nasution
tampil, yang meminta Presiden Soekarno melengkapi pertanggung-jawaban
kepada MPRS tentang sebab-sebab G30S kemudian dinyatakan ditutup begitu
saja. Pada Desember 1966 Panglima AU Oemar Dhani ditangkap, menyusul
kemudian para perwira pendukung Bung Karno lainnya. Mereka semua dihukum
bertahun-tahun tanpa kesalahan yang jelas.
Proses selanjutnya: praktis Soeharto memimpin Indonesia. Perlahan namun
pasti Soeharto melenggang menuju kantor di Istana Negara. Soekarno (yang
katanya akan dikudeta oleh PKI) secara politis sama sekali sudah tidak
berdaya. Melalui UU nr. 10 tahun 1966, DPRGR dan MPRS meminta
pertanggung-jawaban Presiden atas peristiwa berdarah G30S. Menanggapi
itu Bung Karno menolak, sebab menurut Bung Karno, berdasarkan UUD 1945
yang harus dipertanggung-jawabkan mandataris MPRS hanya persoalan yang
ada dalam GBHN. Sedangkan peristiwa G30S ada di luar GBHN yang berarti
Presiden tidak dapat dimintai pertanggung-jawaban. Sejak itu Bung Karno
(secara formal) dilarang mengeluarkan ketetapan-ketetapan atau
peraturan. Secara non-formal Bung Karno sudah ditahan di Istana Bogor
sejak 51
2 Oktober 1965. AD yang diprakarsai oleh Soeharto dan didukung oleh
Nasution menyokong keputusan Soeharto untuk kembali ke UUD 1945 secara
murni dan konsekuen. Saat itu pula Soeharto memerintahkan Ketua MPRS
untuk meninjau kembali semua ketetapan MPRS yang dibuat antara tahun
1960 hingga 1963. Dalam Sidang Kabinet pada bulan Juni 1966 Bung Karno
masih boleh hadir dalam kapasitas tetap sebagai Presiden RI. Namun dalam
sidang itu Bung Karno diharuskan oleh Soeharto agar bicara yang intinya
mengutuk G30S dan harus mengakui bahwa Bung Karno terlibat di dalamnya.
Juga harus membenarkan pembantaian massal PKI dan antek-anteknya. Di
luar dugaan, ternyata Bung Karno sudah menyiapkan pidato yang diberi
judul Nawaksara. Inti pidato tersebut sama sekali menyimpang dari yang
diperintahkan oleh Soeharto. Pidato Bung Karno itu intinya juga tidak
mengandung penyesalan akibat proses pengambil-alihan kekuasaan. Tetapi
pidato ini ditentang oleh para opsir dan para ulama. Pada tanggal 17
maret 1967 MPRS menyelenggarakan Sidang Istimewa. Intinya: dikeluarkan
Tap MPRS yang menurunkan Presiden Soekarno dan secara resmi menyerahkan
kepemimpinan nasional kepada Soeharto sebagai Pejabat Presiden sampai
terpilih presiden oleh MPRS hasil pemilu yang akan datang. Dengan begitu
Soeharto sudah benar-benar menggantikan Soekarno. Saat itulah Soeharto
menegaskan bahwa tentara memiliki peran sosial politik yang tidak
terbatas (kelak hal ini diterjemahkan menjadi Dwifungsi ABRI) DALAM
NEGARA. Saat itu pula ditetapkan bahwa Pancasila sebagai azas tunggal
negara. Soeharto saat itu mulai menyusun kekuatan agar kekuasaan berada
di satu tangan: tangan dia sendiri. Sebaliknya, terhadap Presiden
Soekarno, MPRS mengeluarkan keputusan sebagai berikut:
•
Presiden Soekarno dinilai tidak dapat memenuhi tanggung-jawab
konstitusionalnya - Presiden Soekarno dinilai tidak dapat menjalankan
Haluan Negara. Karena itu MPRS memutuskan melarang Presiden Soekarno
melakukan kegiatan politik sejak saat itu sampai dengan Pemilu yang akan
datang
•
Juga menarik mandat MPRS terhadap presiden yang diatur dalam UUD 1945
dan mengangkat pengemban MPRS nr. 9 sebagai Pejabat Sementara (Pjs)
Presiden Soeharto hingga terpilihnya presiden hasil Pemilu.
•
Pjs Presiden tunduk dan bertanggung-jawab terhadap MPRS. - Persoalan
hukum yang menyangkut Presiden Soekarno ditentukan sesuai hukum yang
berlaku dan pelaksanaannya diserahkan kepada Pjs Presiden.
Secara garis besar tindakan Soeharto sejak sebelum G30S sampai
pembubaran kabinet bentukan Bung Karno disebut pegamat asing sebagai
creeping coup (kudeta merangkak). Proses kudetanya tidak langsung
menghantam dan musuhnya jatuh, melainkan kudeta yang dilakukan secara
mengendap-endap. Kata mereka itu kudeta khas Indonesia. Coba saja,
setelah kekuasaan beralih Bung Karno masih berstatus sebagai Presiden
RI.
52
Saat itu - bahkan sampai sekarang - saya melihat proses peralihan
kekuasaan tersebut sangat unik. Selain unik, juga sangat membahayakan
Soeharto sendiri seandainya perkembangan situasi mengalami pembalikan.
Tetapi rupanya Soeharto sudah memperhitungkan semua dengan sangat
matang. Terbukti, sama sekali tidak ada bahaya. Malah, setelah itu
Soeharto memperkukuh kekuasaannya dengan memreteli semua keputusan MPRS
yang dirasa memberi kewibawaan kepada Bung Karno.
Sebenarnya kudeta merangkak bukan pilihan Soeharto. Jika prosesnya
bergerak secara merangkak, itu karena terpaksa. Soeharto tidak bisa
begitu saja tampil ke puncak pimpinan nasional. Ia harus melewati para
jenderal senior dan berhadapan dengan Bung Karno yang saat itu begitu
kuat.
Akhir Hayat Untung
Setelah ditangkap saya langsung ditahan. Saya diadili di Mahkamah
Militer Luar Biasa dengan tuduhan subversi dan dijatuhi hukuman mati.
Jalur hukum di atas vonis pengadilan - seperti naik banding dan kasasi -
sengaja ditutup sehingga mau tidak mau saya harus menerima vonis
hukuman mati itu. Jelas saya sangat terpukul pada saat itu. Dari posisi
orang nomor dua di Republik ini, saya mendadak sontak diadili sebagai
penjahat dan dihukum mati. Saya menjalani hukuman awal di Penjara Cimahi
Bandung. Di sana berkumpul orang-orang yang senasib dengan saya
(dituduh sebagai penjahat yang terlibat G30S). Di antaranya adalah
Letkol Untung yang memang komandan G30S. Selama beberapa bulan kami
berkumpul di penjara walaupun berbeda ruangan. Saya dan Untung sudah
sama-sama divonis hukuman mati. Baik saya maupun Untung tidak diberi hak
untuk menempuh jalur hukum yang lebih tinggi yakni naik banding,
apalagi kasasi.
Sampai suatu hari di akhir 1966 Untung dijemput dari selnya oleh
beberapa sipir. Diberitahukan bahwa Untung akan dieksekusi. Itulah
saat-saat terakhir Untung menjalani hidupnya. Saya dan Untung yang sudah
akrab selama berada dalam satu penjara benar-benar terhanyut dalam
suasana haru. Saya bukan hanya terharu tetapi juga bingung, sedih,
bahkan panik. Sebab Ahmad Durmawel (oditur militer yang mengadili saya)
saat itu memberitahukan bahwa saya akan mendapat giliran (dieksekusi)
empat hari kemudian. Saya ingat saat itu hari Selasa. Berarti saya akan
dieksekusi pada hari Sabtu.
Sebelum Untung dijemput untuk dibawa keluar penjara, saya sempat menemui
Untung. Saat itu ia sudah ditanya tentang permintaan terakhir, seperti
lazimnya orang yang akan dieksekusi. Mungkin karena Untung sedang panik,
ia tidak minta apa-apa. Untung juga sudah tahu bahwa saya akan
dieksekusi hari Sabtu. Maka pertemuan saya dan Untung benar-benar luar
biasa. Kami memang hanya 53
berhadap-hadapan dengan pakaian seragam narapidana, namun hati kami
tidak karuan. Untung segera akan ditembak, sedangkan saya empat hari
lagi.
Saat itu ada kalimat perpisahan Untung yang saya ingat hingga sekarang.
Bahkan saya ingat suasana hening saat Untung menyampaikan kata
perpisahannya pada saya. Para sipir dan tentara berwajah angker yang
selalu siaga menjaga Untung, mengawasi kami dari jarak agak jauh. Mereka
seperti maklum dan memberi kesempatan terakhir bagi Untung untuk
berpesan kepada saya.
Untung mengatakan demikian: Pak Ban, selamat tinggal. Jangan sedih.
Empat hari lagi kita ketemu lagi di sana katanya sambil menunjuk ke
atas. Untung mengucapkan kata perpisahan dengan suara bergetar. Matanya
kelihatan berkaca-kaca. Tentara yang gagah berani itu tidak menangis,
tetapi saya tahu ia dalam kondisi sangat panik. Ia benar-benar tidak
menyangka bakal dikhianati oleh Soeharto. Jika menengok hari-hari
sebelumnya, Untung begitu sering mengatakan kepada saya bahwa tidak
mungkin Soeharto akan mengkhianati dia. Sebab dia adalah sahabat
Soeharto dan ia mengatakan bahwa Soeharto mengetahui rencana G30S,
bahkan memberi bantuan pasukan. Karena itu dia sangat yakin bahwa dia
tidak akan dikhianati oleh Soeharto. Tetapi toh kenyataannya berakhir
demikian. Menanggapi perkataan Untung, saya tidak bisa bicara apa-apa.
Saya hanya mengangguk-angguk. Para sipir dan tentara yang menjaga kami
menyaksikan semua adegan singkat tapi mengharukan ini.
Menjelang senja, Untung dengan pengawalan ekstra ketat berjalan menuju
pintu gerbang untuk meninggalkan Penjara Cimahi. Saya mengamati
keberangkatan Untung dari penjara. Ia berjalan tegap. Mungkin ia segera
bisa menguasai perasaannya yang begitu gundah. Tetapi mungkin pula ia
sudah pasrah kepada takdir Allah bahwa memang sampai di situlah
perjalanan hidupnya. Saya kemudian mendengar bahwa Untung dieksekusi di
sebuah desa di luar kota Bandung. Saya sudah tidak sempat sedih lagi
memikirkan nasib Untung, hidup saya sendiri akan berakhir sebentar lagi.
Bila mengingat hari-hari itu, saya membayangkan Untung kecele (salah
duga) dengan kata perpisahannya kepada saya sesaat sebelum meninggalkan
penjara karena ternyata dia tidak menjumpai saya di alam sana.
Terus terang, setelah Untung dieksekusi, saya benar-benar gelisah.
Manusia mana yang tidak takut jika hari kematiannya sudah ditentukan.
Tetapi - inilah keajaiban - Presiden Amerika Serikat Lyndon B. Johnson
dan Ratu Inggris Elizabeth, di luar sepengetahuan saya, mengirimkan
surat kawat kepada Soeharto. Saya mengetahui ini dari seorang sumber
beberapa hari kemudian. Isi surat dua petinggi negara adidaya itu - ini
juga ajaib - hampir sama.
54
Intinya berbunyi demikian: Soebandrio jangan ditembak. Saya tahu, dalam
G30S dia tidak terlibat. Soal, apakah ini merupakan intervensi asing
atau bukan, bagi saya tidak perlu dipikirkan lagi. Sejak dulu pun
Indonesia selalu diintervensi oleh negara lain. Yang penting bagi saya,
mereka sudah membantu saya dalam kondisi sangat panik. Dan ternyata
kawat singkat itu ampuh luar biasa. Akhirnya saya tidak jadi ditembak
mati.
Tentang mengapa dua orang pimpinan negara Barat membantu saya, sungguh
tidak saya ketahui. Yang tahu persis hanya mereka berdua. Saya tidak
pernah meminta bantuan mereka. Logikanya, tidak ada waktu bagi saya
untuk minta bantuan kepada orang lain, apalagi pimpinan negara lain.
Hitung saja, saya diberitahu tentang hari eksekusi saya sekitar lima
hari sebelumnya. Selama menunggu, saya hanya panik dan panik.
Lagipula, bagaimana caranya saya minta bantuan kepada mereka? Saya
berada di dalam penjara dan dalam pengawasan ekstra ketat, terutama pada
hari-hari menjelang eksekusi. Namun jangan lupa, saya dulu adalah
Menteri Luar Negeri. Saya akrab dengan mereka berdua. Ketika perundingan
tentang pembebasan Irian Barat, saya banyak melobi pejabat di dua
negara itu. Juga dalam tugas-tugas yang lain. Tetapi bagaimana pun saya
juga tetap tidak tahu bagaimana mereka begitu yakin bahwa saya tidak
terlibat G30S sampai-sampai mereka dengan keputusan yang luar biasa
berani mengirimkan kawat ke Jakarta. Akibat kawat itu pula hukuman saya
diubah dari hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup.
55
BAB IV
Bio-Data & Kuasa Berpindah
Karir Saya
Jika ada yang bertanya: lantas mengapa PKI dituduh sebagai dalang G30S?
Maka saya akan balik bertanya: siapa yang menuduh begitu? Jika PKI
mendalangi G30S atas inisiatif Aidit, maka Indonesia bakal menjadi
lautan darah. Bukan hanya banjir darah seperti yang sudah terjadi.
Betapa ngeri membayangkan PKI dengan 3 juta anggota didukung 17 juta
anggota organisasi onderbouwnya berperang melawan tentara yang hanya
ratusan ribu. Bila genderang perang benar-benar ditabuh, alangkah hebat
pertempuran yang terjadi.
Namun seperti kita saksikan, PKI tidak melakukan perlawanan berarti pada
saat dibantai. Itu karena tidak ada instruksi melawan. Aidit malah lari
dan lantas ditembak mati. Bung Karno - yang juga bisa menjadi panutan
PKI - tidak memerintahkan apa-apa.
Lantas saya dituduh PKI. Tuduhan atau stigma terlibat PKI bukan hanya
saya terima sendirian. Banyak tokoh yang tidak disukai oleh Soeharto
dituduh PKI. Ini bertujuan politis, agar kekuasaan Soeharto langgeng.
Bagi saya tuduhan itu lebih keji lagi. Saya tidak hanya dituduh PKI,
tapi juga dilontarkan julukan yang menyakitkan hati. Saya dijuluki
Durno.
Target penghancuran diri saya oleh kelompok Soeharto sebenarnya hanya
sasaran antara. Tujuan utamanya adalah menjatuhkan Bung Karno. Seperti
sudah saya sebut, skenario Soeharto merebut kekuasaan tertinggi ada 4
tahap:
1.
menyingkirkan para perwira yang menjadi saingan beratnya, seperti A Yani dan Nasution (ini terwujud di G30S)
2.
melikuidasi PKI, partai besar yang saat itu akrab dengan Bung Karno (ini terlaksana setelah PKI dituduh mendalangi G30S)
3.
memisahkan Bung Karno dari para pengikutnya (ini tercapai saat
menangkapi 15 menteri - termasuk saya - sekitar sepekan setelah keluar
surat perintah 11 Maret 1966)
4.
Setelah 3 tahap itu tercapai, Bung Karno dengan mudah dijatuhkan dengan cara seolah-olah konstitusionil melalui ketetapan MPRS.
Nah, saya termasuk sasaran antara tahap ke-3. Saya bersama 14 menteri
ditangkap tanpa alasan jelas. Mula-mula saya ditangkap dengan cara sopan
oleh tentara: Maaf, pak, kami diperintahkan agar mengamankan Bapak dari
kemungkinan amukan rakyat, kata tentara yang menangkap saya. Lantas,
kami 15 menteri dikumpulkan di suatu ruangan sekitar Senayan.
56
Beberapa hari kemudian baru kami menyadari bahwa kami bukan diamankan
tapi ditangkap. Para tentara itu mulai bertindak kasar. Akhirnya kami
dipenjarakan. Untuk menghancurkan nama baik kami, Soeharto menuduh kami
teribat PKI. Bahkan menambahi saya dengan julukan Durno. Kami dihinakan
dan tersiksa lahir dan batin di penjara demi tujuan Soeharto meraih
kekuasaan. Saya memang pernah aktif dalam organisasi politik tapi di PSI
(Partai Sosialis Indonesia). Kalau di PKI, saya sama sekali bukan
anggota atau simpatisan, walaupun pada saat saya masih di puncak
kekuasaan dengan merangkap tiga jabatan sangat penting, orang-orang PKI
banyak mendekati saya. PKI juga mendekati Bung Karno. Malah, anggota dan
pimpinan PKI ada yang menjadi anggota kabinet, bahkan anggota ABRI.
Agar lebih jelas, saya paparkan sekilas biografi saya. Saya lahir di
Kepanjen (selatan Malang), Jatim, 15 September 1914. Ayah saya, Kusadi,
adalah Wedono Kepanjen. Ibu saya, Sapirah, adalah ibu rumah tangga
biasa. Saya adalah anak kedua dari enam bersaudara.
Saya dibesarkan dalam keluarga Islam yang taat. Untuk ukuran posisi ayah
di desa kecil Kepanjen saat itu, keluarga kami cukup terhormat. Masa
kanak-kanak saya habiskan di Kepanjen. Saya sekolah di SR (Sekolah
Rakyat setingkat SD) di sana. Lulus SR, saya masuk MULO (setingkat SMP)
di Malang. Sebab, saat itu di Kepanjen belum ada sekolah MULO. Lulus
MULO saya lanjutkan ke AMS tahun 1928. Saya masuk sekolah terlalu dini,
sehingga pada usia 14 tahun saya sudah tamat AMS.
Tamat AMS, saya memilih melanjutkan ke sekolah kedokteran di Jakarta.
Tempatnya di Jalan Salemba yang kemudian berubah menjadi Universitas
Indonesia. Saat itu saya memang ingin menjadi dokter - sebuah keinginan
yang bisa dibilang muluk untuk ukuran rakyat Indonesia saat itu.
Anak-anak rakyat biasa saat itu paling tinggi hanya sekolah SR. Saya
bisa ke sekolah lanjutan, sebab ayah saya merupakan petinggi, walaupun
hanya petinggi desa.
Tetapi, dari lima saudara saya, hanya saya yang paling menonjol di
sekolah, sehingga bisa melanjutkan sampai ke sekolah kedokteran. Semasa
sekolah kedokteran, saya banyak kenal dengan para pemuda pejuang,
termasuk Bung Karno. Saya sering ikut diskusi-diskusi mereka. Dari sana
saya juga dikenal para pemuda pejuang itu. Saya sendiri menjadi tertarik
bergaul dengan mereka. Saya menyelesaikan sekolah dokter sesuai jadwal,
yakni tujuh tahun. Tercapailah keinginan saya menjadi dokter. Lantas
saya mengambil brevet dengan spesialisasi bedah perut. Saya selesaikan
ini dalam tiga tahun, juga sesuai jadwal. Maka, pada tahun 1938 saya
sudah mengantongi gelar dokter ahli bedah. Ketika itu jumlah
57
dokter umum masih sangat jarang, apalagi dokter spesialis. Kalau tidak
salah, dokter ahli bedah hanya ada lima orang. Tiga dari Jakarta,
termasuk saya, dua dari Surabaya (Universitas Airlangga).
Sebelum lulus, tahun 1936 saya menikah dengan Hurustiati, seorang
mahasiswi tapi beda fakultas dengan saya. Ketika saya sudah lulus, ia
masih kuliah. Usia kami hanya berbeda beberapa tahun. Saya sedikit lebih
tua.
Begitu lulus, saya langsung ditarik pemeritah kolonial menjadi dokter di
Semarang (sekarang RS Dr. Karjadi). Hanya beberapa bulan kemudian saya
dipindahkan ke Jakarta (sekarang RS Dr. Cipto Mangunkusumo). Ahli bedah
di sana saat itu hanya dua orang, termasuk saya. Untuk menyalurkan hobi
berdiskusi saat mahasiswa, saya masuk PSI. Hanya dalam waktu beberapa
bulan saja, pada 1940 saya sudah menjadi wakil ketua PSI.
Akhirnya saya mundur dari rumah sakit. Saya juga tidak praktek pribadi.
Sepanjang hidup saya juga tidak pernah praktek dokter pribadi. Karir
saya di kedokteran selesai sampai di situ, sebab saya jenuh dengan
pekerjaan yang menurut saya monoton. Saya lebih tertarik berorganisasi.
Sampai akhirnya proklamasi kemerdekaan dikumandangkan oleh Bung Karno.
Sekitar tahun 1946 saya ditunjuk oleh Presiden Soekarno menjadi wakil
pemerintah Indonesia di Inggris, berkedudukan di London. Penunjukan itu
tiba-tiba saja. Tidak melalui proses, misalnya, menjadi pegawai negeri
dulu. Mungkin karena saat itu jumlah manusia tidak sebanyak sekarang.
Dan, penunjukan Presiden Soekarno langsung saya terima. Istri saya juga
setuju.
Ini sebenarnya jabatan duta besar, tetapi kemerdekaan Indonesia belum
diakui PBB. Sehingga saya tidak dipanggil duta besar, baik di Indonesia
maupun di Inggris. Bung Karno hanya menyebut jabatan saya: Wakil
Pemerintah Indonesia di Inggris.
Sebelum berangkat ke London, saya was-was. Tetapi setelah di Inggris,
keberadaan saya ternyata diterima oleh Pemerintah Inggris. Memang tidak
ada penyambutan saat saya datang. Saya juga tidak membayangkan akan
disambut. Lantas saya membuka kantor di London. Inilah embrio Kedutaan
Besar RI untuk Inggris. Dan, itulah awal saya meniti karir di
pemerintahan. Jika banyak orang menempati jabatan Dubes sebagai pos
buangan, saya malah memulai karir dari pos itu. Tahun 1950 baru saya
disebut Duta Besar RI untuk Inggris berkedudukan di London. Bagi saya
sebenarnya tidak ada perubahan. Hanya sebutannya saja yang berubah.
Namun, kemudian reaksi pemerintah Inggris terhadap keberadaan saya 58
di sana secara bertahap berubah ke arah positif. Saya sering diundang ke
acara-acara kerajaan, sebagaimana diperlakukan terhadap para duta besar
dari negara-negara merdeka lainnya.
Dari seringnya menghadiri undangan acara kerajaan itu saya sering
berdekatan dengan Ratu Elizabeth. Saat itu tidak terbayangkan oleh saya
bahwa berdekatan dengan Ratu Elizabeth kelak bisa menyelamatkan nyawa
saya dari eksekusi hukuman mati yang tinggal menunggu hari (soal ini
sudah diungkap di muka). Saya hanya menjalankan tugas negara. Dan, dalam
menjalankan tugas, antara lain, harus menghadiri acara-acara seremonial
tersebut.
Pada tahun 1954 Presiden Soekarno menarik saya dari London, dan
memindahkan saya ke Moskow. Resminya jabatan baru saya adalah Duta Besar
RI untuk Uni Soviet di Moskow. Dua tahun di sana, lantas saya
diperintahkan pulang ke Jakarta. Tiba di tanah air saya ditunjuk oleh
Presiden menjadi Sekretaris Jenderal Departemen Luar negeri,
menggantikan Roeslan Abdoelgani. Sedangkan Roeslan menjadi Menlu
menggantikan Ali Sastroamidjojo. Yang unik adalah bahwa Ali turun
jabatan menjadi Dubes RI untuk AS di Washington.
Setahun kemudian saya dipanggil oleh Bung Karno. Setelah menghadap, Bung
Karno berkata demikian: Bandrio, kamu saya tunjuk menjadi Perdana
Menteri. Saya kaget. Itu merupakan suatu loncatan jabatan yang luar
biasa - dari Sekjen Deplu menjadi Perdana Menteri. Menanggapi ini saya
mengatakan, minta waktu berpikir. Sesungguhnya saya menolak tawaran itu.
Saya merasa tidak enak dengan para senior saya. Memang, saya merasa
Bung Karno menaruh simpati pada saya. Tolok ukurnya adalah bahwa Bung
Karno sering menugaskan saya membuat naskah pidatonya. Bahkan, pada
suatu hari Bung Karno berpidato di Markas PBB. Sebelum tampil Bung Karno
meminta saya membuatkan naskah pidato, padahal saya di Jakarta. Namun,
tugas itu tetap saya laksanakan. Walaupun saya jarang bertatap muka
dengan Bung Karno, terasa sekali dia bersimpati pada saya. Tapi, saya
merasa belum mampu menjadi Perdana Menteri. Apalagi saya belum lama
pulang ke tanah air, sehingga saya kurang memahami perkembangan situasi
terakhir. Menolak tawaran Bung Karno juga tidak enak. Lantas jalan
keluarnya adalah bahwa saya bicara dengan Ketua PNI Suwito. Saya minta
tolong Suwito menghadap Bung Karno, untuk menyampaikan keberatan saya.
Sambil menyampaikan ini ia mengusulkan nama Djuanda. Ternyata Bung Karno
setuju. Jadilah Djuanda Perdana Menteri. Untuk menjalankan tugasnya dia
dibantu oleh presidium yang disebut Wakil Perdana Menteri (Waperdam).
Ada dua Waperdam, yakni Waperdam-I Idham Khalid dan Waperdam-II Hardi.
Selanjutnya saya menjadi Menlu menggantikan Roeslan.
Setelah Djuanda meninggal dunia, tiga menteri dipanggil oleh Bung Karno - saya 59
sendiri, Menteri Pangan Leimena, dan Menteri Pemuda Chaerul Saleh.
Tujuannya adalah untuk mencari pengganti Djuanda dari tiga menteri ini.
Proses pemilihannya unik sekali, sehingga tidak saya lupakan.
Bung Karno memberi kami masing-masing tiga batang korek api. Semula kami
bingung. Bung Karno menyatakan bahwa ini pemilihan yang adil dan
demokratis. Masing-masing diberi sebatang korek utuh, setengah batang
tanpa pentolan (karena sudah dipatahkan oleh Bung Karno), dan setengah
batang dengan pentolan (juga sudah dipatahkan sebelumnya). Bung Karno
meletakkan sebuah kantong di meja. Cara permainannya, batang korek utuh
merupakan simbol saya, setengah batang tanpa pentolan menjadi simbol
Leimena, dan setengah batang dengan pentolan mewakili Chaerul. Bung
Karno minta, masing-masing memilih satu saja untuk dimasukkan ke dalam
kantong. Saat memasukkan korek ke kantong, tangan harus menggenggam
supaya tidak diketahui yang lain. Pemilihan pun dimulai. Saya memasukkan
setengah batang korek tanpa pentolan. Artinya, saya memilih Leimena.
Lantas disusul Leimena dan Chaerul. Meskipun bentuknya sangat sederhana,
tetapi inilah pemilihan Perdana Menteri Indonesia. Suasana hening. Bung
Karno memandang masing-masing menteri yang memasukkan korek ke sebuah
kantong. Sampai semuanya menggunakan hak pilihnya.
Apa yang terjadi berikutnya? Bung Karno menumpahkan isi kantong itu
secara blak-blakan. Yang tampak: sebatang korek utuh, setengah batang
tanpa pentolan, dan setengah batang dengan pentolan. Lengkap. Bung Karno
geleng-geleng kepala. Hasil suara seimbang untuk tiga kandidat.
Pemilihan macet. Kami saling memandang satu sama lain. Lantas kami
saling terbuka. Saya pilih Leimena, sebaliknya Leimena pilih saya,
Chaerul pilih dirinya sendiri.
Leimena kemudian bicara. Sebaiknya Soebandrio menjadi Perdana Menteri.
Alasannya, Indonesia butuh perhatian penuh di bidang luar negeri.
Terutama menyangkut Irian Barat yang statusnya belum jelas. Untuk itu
perlu diplomasi internasional. Orang yang tepat adalah Soebandrio,
ujarnya. Bung Karno ternyata setuju dan memanggil ajudannya Brigjen
Sabur untuk menuliskan keputusan di kertas kop kenegaraan.
Sebelum terlaksana, saya minta bicara. Saya katakan, tidak perlu
merombak kabinet. Sebaiknya Bung Karno selain Presiden juga Perdana
Menteri didampingi oleh para Waperdam. Nah, Waperdamnya adalah kami
bertiga. Bung Karno juga setuju. Lalu Leimena main tunjuk, saya
Waperdam-I, Leimena Waperdam-II, Chaerul Waperdam-III. Hebatnya, tanpa
banyak bicara lagi semuanya sepakat. Tidak lama kemudian saya dibebani
satu tugas lagi sebagai Kepala BPI. Maka, saya merangkap tiga jabatan.
Semakin jelas bahwa Presiden mempercayai saya.
60
Walaupun cukup berat, namun saya laksanakan tugas-tugas yang diberikan. Saya masih sempat melaksanakan ibadah haji.
Sebagai imbalan, selain digaji, saya juga diberi rumah cukup di Jalan
Imam Bonjol 16, Menteng, Jakarta Pusat. Untuk ukuran saat itu rumah
tersebut sudah cukup mewah. Di rumah itu pula saya memiliki
perpustakaan. Kelak perpustakaan saya ini dihancurkan oleh penguasa Orde
baru.
Tahun 1958 anak saya yang pertama lahir, dan kami beri nama Budojo.
Ternyata hanya itu anak saya, sebab dia tidak punya adik lagi.
Saat saya menjadi pejabat tinggi negara, ada yang unik. Saya menjadi
tukang khitan beberapa anak pejabat. Ceritanya, para pejabat itu tahu
bahwa saya adalah dokter ahli bedah. Saat itu sudah banyak dokter ahli
bedah. Tapi, entah mengapa mereka minta tolong saya untuk mengkhitankan
anak mereka. Ada beberapa anak pejabat yang sudah saya khitan. Saya
hanya menolong mereka dengan ikhlas. Sejak mengundurkan diri dari RS,
saya tidak pernah praktek dokter pribadi. Beberapa teman menyayangkan
bahwa saya tidak buka praktek. Sebab, saat itu jumlah dokter masih
sedikit. Tetapi, karena sudah menjadi niat saya untuk terjun ke dalam
kancah politik, saya tinggalkan bidang pekerjaan yang sebenarnya sesuai
dengan bidang pendidikan saya itu. Ya, saya harus memilih, dan saya
sudah menentukan. Jadinya, saya hanya menjadi tukang khitan anak
pejabat. Sepanjang saya menjadi pejabat tinggi negara, memang ada
beberapa tokoh PKI yang akrab dengan saya. Sebagai pejabat tentu saya
akrab dengan pimpinan PKI, DN Aidit. Juga dengan beberapa tokoh PKI
lainnya. Tetapi, saya tidak masuk ke dalam keanggotaan partai itu. Saya
juga tidak aktif di PSI, sejak menjadi pejabat negara. PKI saat itu
adalah partai besar. Mereka tentu memiliki ambisi politik tertentu,
sehingga mereka tidak hanya mendekati saya, tetapi juga pejabat tinggi
negara lainnya, termasuk Bung Karno. Bahkan, beberapa tokoh PKI masuk ke
dalam jajaran kabinet. Banyak juga di ABRI. Sebab, PKI saat itu memang
partai besar dan legal. Jadi, wajar kalau tokohnya duduk di kabinet dan
ABRI. Sebagai gambaran, salah satu partai besar saat ini (tidak perlu
saya menyebut namanya) menempatkan tokohnya di jajaran kabinet. Bahkan,
ada yang masuk ke jajaran ABRI. Bukankah itu hal yang wajar? Dan, kalau
para pimpinan partai itu mendekati pimpinan puncak, presiden dan
orang-orang terdekatnya, juga wajar. Kondisinya berubah menjadi tidak
wajar setelah partai tersebut dinyatakan sebagai partai terlarang.
Itulah PKI.
Saat G30S meletus - seperti sudah saya sebutkan di muka - saya sedang
bertugas di Medan. Kami keliling daerah untuk memantapkan
program-program pemerintah. Begitu saya diberitahu oleh Presiden
Soekarno, saya langsung pulang, dan tiba di istana Bogor bergabung
dengan Presiden Soekarno pada 3 Oktober 1965. Setelah itu
61
kondisi negara tidak menentu. Presiden Soekarno sudah menjadi tawanan Soeharto di Istana Bogor sejak 2 Oktober 1965.
Sejak itu pula kelompok Bayangan Soeharto menyebarkan propaganda bahwa
G30S didalangi oleh PKI. Ketua PKI, DN Aidit, ditembak mati di Jawa
Tengah. Namun muncul pengakuan tertulis Aidit - yang sangat mungkin
merupakan rekayasa - bahwa ia yang mendalangi G30S. beberapa tokoh PKI
lainnya juga ditembak mati, tanpa proses pengadilan. Semua ini adalah
cara untuk membungkam PKI, agar tidak bicara. Memang, pada 1 Oktober
1965 Aidit berada di Halim, pusat pasukan G30S berkumpul. Namun, saya
dengar istri Aidit mengatakan bahwa pada tanggal 30 September 1965,
malam hari, Aidit diculik dan dibawa ke Halim. Aidit terbang ke
Yogyakarta, beberapa saat setelah Bung Karno meninggalkan Halim.
Saya sangat yakin bahwa dalang G30S bukan Aidit. Saya ingat saat saya
dan Aidit sama-sama menjenguk Bung Karno yang sedang sakit. Setelah saya
periksa, Bung Karno ternyata hanya masuk angin. Tetapi, disebarkan isu
bahwa Bung Karno sedang sakit berat, paling tidak bisa lumpuh. Isu
tersebut merupakan propaganda yang ditujukan untuk konsumsi publik di
luar PKI. Sebab, PKI pasti mengetahui, karena Aidit bersama saya
menjenguk Bung Karno. Propaganda itu bertujuan untuk memberi alasan
keterlibatan PKI dalam G30S. Propaganda itu akan membangun opini publik
bahwa PKI bergerak merebut kekuasaan sebelum didahului oleh pihak lain,
mengingat sakit kerasnya Bung Karno.
Yang mengetahui rahasia ini hanya Bung Karno, Aidit, dokter RRC yang
didatangkan oleh Aidit dari Kebayoran-Baru, Jakarta, Dokter Leimena, dan
saya sendiri. Tanpa berniat membela Aidit, saya yakin bahwa bukan Aidit
yang mendalangi PKI, sebab saya tahu persis. Kalau Aidit mendukung
pembunuhan anggota Dewan Jenderal, memang ya. Dalam suatu kesempatan,
saya dengar Aidit mendukung gerakan membunuh anggota Dewan Jenderal yang
dikabarkan akan melakukan kudeta terhadap Presiden. Sebab, kalau sampai
Presiden terguling oleh kelompok militer, maka nasib PKI selanjutnya
bakal sulit. Tetapi, Aidit hanya sekadar mendukung dalam bentuk ucapan
saja.
Tetapi akhirnya propaganda Soeharto melalui media massa sukses. Kesan
bahwa PKI mendalangi G30S melekat di benak publik. Malah diperkaya
dengan cerita pembantaian para jenderal di Lubang Buaya oleh kelompok
Gerwani yang menari-nari sambil menyiksa para jenderal. Dikabarkan bahwa
mata para jenderal dicungkil, kemaluannya dipotong, tubuhnya
disayat-sayat. Penyiksaan keji ini diberi nama Upacara Harum Bunga -
suatu nama yang sangat kontras dengan kekejiannya. Sungguh suatu cerita
yang mengerikan.
Cerita ini diperkuat dengan pengakuan seorang wanita bernama Jamilah dan
kawan-kawan yang mengaku sebagai orang Gerwani. Saya tidak tahu, siapa
62
Jamilah itu. Tetapi cerita ini dipublikasikan oleh pers yang sudah
dikuasai Soeharto. Dalam sekejap kemarahan rakyat terhadap PKI tersulut.
Padahal, cerita yang disebarkan Soeharto itu semua bohong. Terbukti,
setelah Soeharto tumbang, para dokter yang membedah mayat para jenderal
dulu bicara di televisi: mayat para jenderal itu utuh, Sama sekali tidak
ada tanda-tanda penyiksaan. Memang kulit mayat terkelupas, tetapi
berdasarkan penelitian, itu karena mayat tersebut terendam di dalam air
(sumur) selama beberapa hari. Saya bukan PKI. Memang, saya pernah
menyerukan penghentian pembantaian terhadap pimpinan dan anggota PKI
oleh AD pada pertengahan Oktober 1965. Itu saat-saat awal PKI dibantai.
Seruan saya ini atas perintah Presiden Soekarno yang tidak menghendaki
pertumpahan darah. Bung Karno saat itu masih memegang kendali. Beberapa
jam setelah G30S meletus, ia memerintahkan agar semua pasukan bersiap di
tempatnya. Jangan ada yang bergerak di luar perintah Presiden. Sebab,
pada dasarnya Bung Karno tidak menghendaki pertumpahan darah. Namun
perintah Presiden tidak digubris. Seruan saya juga tidak dihiraukan.
Pambantaian PKI terus berlangsung.
Malah, sejak itu saya dicap sebagai pro-PKI. Apalagi saya pernah
ditugaskan di Moskow. Saya juga pernah ditugaskan berkunjung (sebagai
Menlu) ke Beijing, RRC dan diberi tawaran bantuan senjata gratis oleh
pimpinan RRC. Sedangkan Moskow dan Beijing adalah poros utama komunis.
Dari rangkaian tugas-tugas kenegaraan saya itu lantas saya dicap
pro-PKI. Saya sebagai pejabat tinggi negara saat itu tidak dapat berbuat
banyak menanggapi cap tersebut. Sebab, bukankah semua itu karena saya
menjalankan tugas negara?
Saya merasa cap PKI menjadi mengerikan bagi saya, setelah PKI dibantai
habis-habisan. Pada Sidang Kabinet 11 Maret 1966 di Istana Negara saya
menjadi incaran pembunuhan tentara, meskipun saat itu saya masih pejabat
tinggi negara. Ketika Istana Negara dikepung oleh pasukan Kostrad
pimpinan Kemal Idris dibantu oleh pasukan RPKAD (kelak berubah menjadi
Kopassus) pimpinan Sarwo Edhie, jelas saya diincar. Dari laporan
intelijen, saya diberitahu bahwa Kemal Idris bersama pasukannya akan
membunuh saya. Itu juga atas persetujuan Soeharto. Tetapi akhirnya saya
lolos.
Beberapa hari setelah itu baru 15 menteri ditangkap, termasuk saya. Jika
sebelumnya cap pro-PKI terhadap diri saya tidak terbuka, sejak saya
ditangkap cap itu semakin menyebar secara luas. Malah, Soeharto
menambahi julukan baru bagi saya: Durno. Sebagai orang Jawa, tentu saya
sangat sakit hati diberi julukan itu. Sebab, Durno adalah tokoh culas
dalam pewayangan. Durno suka mengadu-domba. Soal julukan ini saya tidak
tahu bagaimana asal-usulnya. Yang tahu tentu hanya Soeharto. Tetapi, ini
memang bagian dari penghancuran diri saya sebagai pengikut setia Bung
Karno. Dan, julukan Durno bagi saya baru muncul setelah saya ditahan,
setelah Bung karno mendekati ajal politiknya. 63
Di dalam penjara, saya sama sekali tidak disiksa secara fisik. Kalau
disiksa mental, sudah jelas. Interogasi tak habis-habisnya hanya untuk
tujuan menjatuhkan mental. Sebagai mantan pejabat tinggi negara, saat
itu mental saya sudah jatuh. Dari pemegang kekuasaan negara berubah
menjadi orang tahanan. Mungkin saya mengalami depresi. Istri saya tentu
mengalami hal yang sama. Anak saya satu-satunya masih kecil.
Saya diadili di Mahmilti tidak lama kemudian. Tetapi, anehnya dakwaan
buat saya bukan sebagai PKI atau terlibat G30S. Sama sekali tidak
menyinggung dua hal pokok itu. Padahal, saya sudah dicap pro-PKI. Saya
sudah dijuluki Durno. Saya diadili karena ucapan saya bisa menimbulkan
kekacauan saat saya berkata: Kalau ada teror, tentu bakal muncul
kontra-teror. Beberapa setelah G30S meletus, para pemuda yang
dimanfaatkan AD mendesak agar Bung Karno diadili. Mereka didukung oleh
AD untuk melakukan demonstrasi dan melancarkan teror bagi Bung Karno
serta para pendukungnya. Suatu saat saya mengatakan, jika ada teror
(dari para pemuda) maka bakal muncul kontra-teror (entah dari mana).
Nah, ucapan saya ini dinilai bisa memancing kekacauan. Saya dituduh
melakukan subversi. Sidang berlangsung singkat, lantas saya dijatuhi
hukuman mati. Benar-benar pengadilan sandiwara. Mereka gagal membunuh
saya secara terang-terangan di Sidang Kabinet 11 Maret 1966, toh mereka
bisa membunuh saya secara ’konstitusional’ di pengadilan sandiwara ini.
Naik banding dan kasasi saya tempuh sekadar semacam reflek menghindari
kematian. Namun upaya hukum itu percuma. Sebab, pengadilannya saja sudah
sandiwara.
Dan, pengadilan sandiwara di banyak kasus seputar G30S dan PKI di awal
kepemimpinan Soeharto, kemudian berdampak sangat buruk bagi Indonesia.
Sejak itu sampai sekarang, pengadilan sandiwara merupakan hal lumrah.
Pengadilan sandiwara kasus seputar G30S merupakan semacam yurisprudensi
(rujukan) bagi serentetan amat panjang pengadilan sandiwara berikutnya.
Moral aparat hukum rusak berat. Pengadilan berbagai kasus
di-subversi-kan berikutnya: Tanjung Priok, Lampung, demonstrasi
mahasiswa yang kritis terhadap pemerintah Orde Baru, diadili dengan
pengadilan sandiwara merujuk G30S. Bahkan juga kasus-kasus korupsi.
Salah menjadi benar, benar menjadi salah.
Ini sama sekali bukan pelampiasan dendam saya terhadap Soeharto. Tak
kurang Presiden KH Abdurrahman Wahid (tidak ada hubungannya dengan saya)
sampai melontarkan pernyataan bahwa seluruh hakim Jakarta akan diganti
dengan hakim impor. Di dalam penjara, awalnya saya mengalami depresi.
Kesalahan saya satu-satunya adalah menjadi pengikut setia Bung Karno.
Namun kemudian saya tidak menyesal menjadi pengikut setia Bung Karno,
sebab itu sudah menjadi tekad saya. Dan, ini
64
merupakan risiko bagi semua orang yang berkecimpung di bidang politik.
Saya masuk sel isolasi, terpisah dengan napi lain. Meskipun saya tidak
disiksa fisik, namun direkayasa sedemikian rupa sehingga batin saya
benar-benar tersiksa. Kondisi penjara yang sangat buruk, suatu saat
membuat perut saya terluka dan mengalami infeksi. Saya tahu, itu obatnya
sederhana saja. Tetapi, pemerintah tidak menyediakan. Luka saya
dibiarkan membusuk digerogoti bakteri. Ketika luka saya sudah
benar-benar parah (berulat), baru diberi obat. Rupanya pemberian obat
yang terlambat itu memang disengaja. Akibatnya, luka memang sembuh.
Namun sampai kini sering kambuh, rasa nyeri luar biasa.
Di dalam, saya dilarang menulis, membaca berita, dijenguk keluarga atau
teman (baru beberapa tahun kemudian dibolehkan). Satu-satunya bacaan
saya adalah ayat suci Al-Qur’an. Tetapi, bacaan ini seperti
mengembalikan saya pada suasana masa kanak-kanak yang agamis. Saya malah
mendapatkan ketenangan jiwa yang tidak saya rasakan ketika saya menjadi
pejabat tinggi negara.
Akhirnya saya lolos dari hukuman mati karena kawat dari dua petinggi
negara adidaya, AS dan Inggris. Hukuman saya diubah menjadi seumur
hidup. Tetapi saya tetap ditempatkan di sel isolasi mulai dari Salemba
(Rutan Salemba), LP Cimahi, sampai LP Cipinang.
Pada tahun 1978 anak saya Budojo meninggal dunia karena serangan
jantung. Ibunya benar-benar mengalami depresi berat. Sejak saya dihukum,
hanya Budojo yang membuat ibunya tabah menghadapi cobaan. Saya bisa
membayangkan, betapa isteri saya hidup nelangsa. Dari seorang istri
pejabat tinggi negara, mendadak berubah menjadi ’istri Durno’, disusul
anak satu-satunya pun meninggal dunia. Maka, beberapa bulan kemudian
istri saya menyusul Budojo, berpulang ke rahmatullah. Tinggallah saya
sendiri. Tetap kesepian di penjara. Tidak ada lagi yang menjenguk.
Tetapi, diam-diam ada seorang wanita yang bersimpati pada saya. Dia
adalah mantan isteri Kolonel Bambang Supeno. Bambang adalah perwira
tinggi AD yang ikut mendukung G30S atas instruksi Soeharto. Namun,
seperti nasib perwira pelaku G30S lainnya, Bambang dihukum dan akhirnya
meninggal dunia. Istrinya, Sri Koesdijantinah, janda dengan dua anak,
lantas bersimpati pada saya. Kami akhirnya menikah di LP Cipinang pada
tahun 1990. Saya sangat kagum pada Sri yang rela menikah dengan
narapidana. Sangat jarang ada wanita setulus dia. Kini hidup saya tidak
sendiri lagi. Meskipun saya tetap meringkuk di sel khusus, tetapi setiap
pekan ada lagi orang yang menjenguk, setelah bertahun-tahun kosong. Sri
muncul di saat semangat hidup saya nyaris padam. Setiap pekan dia
membawakan saya nasi rawon kesukaan saya. Juga dua orang anak Sri sangat
perhatian. kepada saya. Sebagai sesama korban Soeharto, kami menjadi
bersatu. Saya lantas menjadi sadar bahwa bukan hanya saya korban
kekejaman Soeharto. 65
Ada banyak korban lain yang jauh lebih sengsara dibanding saya. Sri benar-benar membuat hidup saya bersinar kembali.
Pada tanggal 16 Agustus 1995 saya dibebaskan. Saya pulang bersama Sri
dan anak-anak. Kami menempati rumah besar di Jalan Imam Bonjol 16 yang
dulu saya tinggalkan. Saya seperti bangun tidur di pagi hari. Saya
seperti baru saja bermimpi, 30 tahun dalam kegelapan di penjara. Saya
seperti menemukan hari baru yang cerah. Saya bersujud syukur
alhamdulillah, masih diberi kesempatan menghirup udara bebas.
Setahun menempati rumah itu, kami merasa kewalahan. Biaya perawatannya
sangat mahal. Sebagai seorang dosen di sebuah perguruan tinggi swasta,
honor Sri tidak seberapa. Apalagi saya, penganggur tanpa penghasilan.
Tiga jabatan sangat penting saya di zaman Presiden Soekarno tidak
dihargai sama sekali. Saya tidak diberi uang pensiun. Akhirnya kami
menjual rumah besar itu. Sebagai gantinya, kami membeli rumah lebih
kecil di Jakarta Selatan.
Setelah Soeharto tumbang, banyak orang datang kepada saya, menganjurkan
saya membuat memoar. Saya sesungguhnya tidak tertarik. Selain tidak
memiliki persiapan yang matang, juga tidak ada gunanya bagi saya
mengungkap masa lalu. Biarlah itu berlalu. Toh saya sudah menjalani
hukuman 30 tahun. Toh saya sudah menerima hinaan disebut Durno, PKI, dan
sebagainya. Saya sudah ikhlas menerimanya. Saya sudah legowo. Usia saya
sudah senja. Tinggal meningkatkan amal soleh dan ibadah, sebagai bekal
menghadap Sang Khalik, suatu saat nanti. Apalagi Soeharto akhirnya
tumbang juga. Kalau saya mengungkap masa lalu, saya bisa larut dalam
emosi. Maka, anjuran itu tidak saya turuti.
Namun, teman-teman sezaman, baik dari dalam maupun luar negeri terus
menghubungi saya, baik melalui telepon maupun bertemu langsung. Mereka
mengatakan, sejarah G30S sudah dibengkokkan. Kata mereka, saya harus
mengatakan yang sebenarnya untuk meluruskan sejarah. Ini bukan untuk
anda, tapi penting bagi generasi muda agar tidak tertipu oleh sejarah
yang dimanipulir, kata salah seorang dari mereka.
Diinformasikan bahwa salah satu pelaku sejarah G30S yang amat penting,
Kolonel Abdul Latief juga membuat buku berisi pledoinya dulu. Tetapi ada
dugaan bahwa Latief tidak mengungkap total misteri G30S. Sebab,
Mingguan terbitan Hongkong, Far Eastern Economic Review edisi 2 Agustus
1990 memberitakan bahwa memoar Latief yang lengkap disimpan di sebuah
bank di luar Indonesia dengan pesan, boleh dipublikasikan jika Latief
dibunuh. Itu berarti G30S masih misteri. Saya sempat bimbang. Keinginan
saya mengubur masa lalu seperti digoyang begitu kuat. Apalagi banyak
penulis kenamaan datang kepada saya, siap menuliskan memoar saya. Dalam
kebimbangan itu saya ingat pada seorang
66
wartawan muda yang paling sering mewawancarai saya, Djono W. Oesman. Dia
saya hubungi dan saya minta menuliskan cerita saya, sebab saya percaya
padanya. Dia pun setuju. Dialah penyunting buku ini. Hanya saya dan dia
yang menyusun potongan-potongan peristiwa yang saya alami dan saya
ingat.
Saya menyadari bahwa mungkin banyak kekurangan di dalam buku ini.
Maklum, G30S adalah masalah internal AD, dan saya bukan dari AD. Tetapi
saya dalah pelaku sejarah G30S yang mengalami semua kejadian sebelum,
saat meletus, sampai dampak peristiwa itu. Mungkin, inilah sumbangan
saya, bagian dari amal ibadah untuk bekal kehidupan saya di akhirat
kelak. Semoga ada manfaatnya. Amin. Komentar Teror, teror, dan teror.
Tidak henti-hentinya. Saling susul-menyusul. Seolah tiada yang mampu
menghentikan teror mental dan fisik yang dimulai sejak 1965, dilanjutkan
pada Pemilu 1972. Gembar-gembor bahaya laten PKI terus
didengung-dengungkan, untuk memperkuat rezim Soeharto. Teorinya,
penguasa Orde Baru selalu menciptakan musuh semu bagi rakyat. Rakyat
diberi musuh semu berupa momok bahaya laten PKI. Inilah teror mental.
Sedangkan bagi mereka yang kritis, seperti para mahasiswa, dikenakan
teror mental dan fisik.
Soeharto yang pada 1966 menggerakkan mahasiswa, dalam perjalanan
kekuasaannya malah meneror mahasiswa. Terhadap mereka yang kritis dan
suka berdemo, dilakukan penangkapan, interogasi, bahkan disiksa. Pada
pertengahan 1970-an sudah beredar anekdot yang mengkritik keserakahan
keluarga Soeharto. Misalnya, kalangan mahasiswa memberi julukan istri
Soeharto, Siti Suhartinah (biasa dipanggil ibu Tien) dengan julukan Ibu
Tien Persen. Artinya Ibu Sepuluh Persen. Menurut pembicaraan di kalangan
mereka, ibu Tien sering minta komisi 10% jika ada investor asing masuk
ke Indonesia.
Teror yang disebar oleh rezim Orde Baru seolah-olah merupakan unjuk
kekuatan setelah membantai jutaan kaum komunis, keluarga, dan
simpatisannya. Seolah diumumkan, jangan macam-macam dengan penguasa.
Jangan coba-coba melawan penguasa. Dan, kritik dari generasi muda juga
diartikan sebagai melawan penguasa. Maka, harus dihabisi.
Bukti dari kesimpulan ini sudah kita saksikan bersama, bagaimana
perjalanan rezim Orde baru membunuh kritik dari masyarakat. Mulai dari
teror Pemilu 1972, dilanjutkan dengan teror, penangkapan serta
penyiksaan terhadap mahasiswa yang berdemo pada 5 Januari 1974 (yang
dikenal dengan Malari, yang merupakan singkatan dari Lima Januari).
67
Lantas dilanjutkan tindakan represif tentara kepada mahasiswa yang
berdemo pada tahun 1978. Demo damai umat Islam di tahun 1984
menghasilkan pembantaian Tanjung Priok. Kekerasan demi kekerasan dialami
rakyat. Setelah saya bebas, kemudian Soeharto jatuh dari kursi
kekuasaannya, kekerasan menjadi warisan buruk kepada masyarakat.
Perkelahian massal di Sambas, Kalimantan Barat yang saya baca di media
massa, memamerkan pembantaian yang mengerikan. Di koran dipasang foto
kepala manusia tergeletak di pinggir jalan. Isu dukun santet di Jatim
malah lebih gila lagi. Kepala manusia yang sudah terpenggal, ditusuk
dengan bambu runcing dan diarak keliling kota. Di Malang, tidak jauh
dari kota kelahiran saya, kepala manusia yang sudah terpenggal diikat
lantas diseret dengan sepeda motor yang melaju keliling kota.
Peristiwa-peristiwa yang saya sebutkan belakangan ini sudah bukan
dilakukan oleh tentara lagi, tetapi oleh rakyat terhadap rakyat. Tetapi,
ini semua adalah warisan dari pembantaian kaum komunis yang sangat
brutal di masa lalu - pelajaran buruk yang diwariskan ke generasi
berikutnya.
Kudeta merangkak itu bergelimangan darah. Pertama, darah para jenderal
yang dibantai pada tanggal 1 Oktober 1965. Kedua, darah Untung dan
Soepardjo yang dimanipulasi. Ketiga, darah Sjam Kamaruzzaman yang
dikhianati. Keempat darah jutaan kaum komunis, keluarga, simpatisan
komunis, keluarga mereka, kaum buruh, dan para petani.
Pembaca yang budiman, mengetahui kejahatan kemanusiaan dan tidak
mencegah saja sudah merupakan kejahatan terhadap manusia. Lantas, di
mana tempat Soeharto yang luput dari hukum hingga buku ini ditulis? Saya
berada di rumah sakit (RSPAD Gatot Subroto) sampai menjelang tengah
malam, lantas pulang ke rumah, kata Soeharto.
Sekali pun kita mencoba melupakan sejenak bahwa ucapan Soeharto itu
dusta, namun pulang ke rumah dan tidur pulas setelah mengetahui pasti
bahwa beberapa jam lagi rekan-rekan jenderal akan bertemu maut, betapa
pun adalah kejahatan. Kualifikasi yang bagaimana yang semestinya
diberikan terhadap kejahatan Soeharto yang telah membunuh jutaan manusia
dan membuat sebagian lain merana di penjara? Ya, kualifikasi apa?
Penghancuran PKI yang diikuti dengan pembunuhan jutaan manusia mendapat
dukungan kekuatan imperialisme internasional, terutama Amerika Serikat
yang mengklaim diri sebagai negara demokrasi. Ini bentuk penghancuran
struktur di suatu negara (Indonesia) yang sangat besar sejak Perang
Dunia-II. Kekejamannya tidak pernah dibayangkan sebelumnya, oleh siapa
pun, termasuk oleh kita sendiri, juga termasuk saya yang menyaksikan
langsung semua peristiwa di tingkat elite politik Indonesia saat itu. 68
69
Peristiwa ini bukan hanya peristiwa intern Indonesia, tetapi Indonesia
dan dunia. Ini merupakan letupan konflik yang sebenarnya sudah lama ada
antara mahakuasa imperialisme internasional dengan hak menentukan nasib
sendiri bangsa Indonesia di pihak lain. Indonesia hanyalah tempat
peristiwa. Sedangkan karakternya bersifat dunia. Ini sebuah tragedi yang
secara moral merupakan kejahatan peradaban umat manusia. Sebagai
konsekuensi logis dari peristiwa ini adalah memfasiskan kehidupan
negara, bertentangan dengan harapan ahli-ahli teori modernisasi.
Hasil dari semua itu adalah penyebaran kapitalisme, termasuk ke
Indonesia. Tetapi di Indonesia, penyebaran kapitalisme tidak diikuti
dengan lahirnya negara borjuis demokrasi liberal, seperti di AS atau
Eropa Barat. Itu tidak tercipta di sini. Sebagai gantinya, ternyata,
perkembangan kapitalisme di sini melahirkan negara birokrasi militer.
Pada perkembangan berikutnya melahirkan berbagai persoalan bangsa yang
sulit diatasi oleh generasi penerus.
Di sisi lain, kebungkaman terhadap kejahatan manusia dan kemanusaiaan
harus segera diakhiri. Atas nama kawan-kawannya, keluarga dan kerabat
saya, atas nama semua anak bangsa yang dibunuh, atas nama anak yang
kehilangan orangtua mereka, atas nama anak-anak yang selama
bertahun-tahun ikut ibu di penjara, atas nama golongan mana pun yang
sudah dianiaya dan disembelih oleh rezim Soeharto, saya serukan, akhiri
kebungkaman ini. Kepada mereka yang merasa sebagai demokrat, baik di
dalam maupun di luar negeri, pecahkan kebungkaman ini. Hari sudah tidak
lagi terlalu pagi. Matahari sudah di atas ubun-ubun. Eksistensi rezim
kriminal Soeharto ditegakkan oleh segelintir elite Indonesia, para
jenderal fasis, pendukung sipil dan teknokratnya, serta kaum konglomerat
yang kemudian terbukti serakah dan rakus. Mereka mengembangkan model
kapitalisme abad ke-18 yang tak manusiawi dalam memacu kapitalisme di
Indonesia selama lebih dari tiga dekade.
Hari ini tidak lagi terlalu pagi kita memasuki titik awal. Saya bangga,
karena titik awal ini dimulai oleh generasi muda Indonesia yang tidak
ragu menghadapi kekuatan kriminal dan uang hasil korupsi rezim Orde
baru. Luruskanlah sejarah yang telah mereka bengkokkan selama tiga
dekade ini. Pecahkan kebungkaman!
0 komentar:
Posting Komentar